Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Cegah Kartel, Indonesia Harus Ubah Sistem Tata Niaga Impor Produk

        Cegah Kartel, Indonesia Harus Ubah Sistem Tata Niaga Impor Produk Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan sistem kuota dalam aktivitas ekspor impor untuk meminimalisir, bahkan menutup potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

        “Penelitian kami menunjukkan bahwa proses perizinan dan pembatasan kuota impor maupun ekspor produk pangan dan pertanian telah beberapa kali berujung kepada kasus korupsi, sebagai contoh di impor bawang putih, daging sapi, maupun gula. Yang paling hangat tentang dugaan korupsi pada ekspor minyak goreng” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta.

        Ia melanjutkan, celah rente muncul dari kebijakan perdagangan yang tertutup, tidak transparan, dan rumit. Hal ini juga diungkapkan oleh studi di negara-negara APEC (2017) yang menunjukkan kebijakan lisensi impor terkait dengan perilaku pencari rente seperti penyuapan dan pemberian lisensi berdasarkan hubungan personal.

        Baca Juga: Arief Poyuono Yakini Kebijakan Larangan Ekspor Tak Cukup Turunkan Harga Minyak Goreng

        Kuota sendiri kata dia dapat diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi jumlah barang-barang yang keluar dan masuk dari luar negeri. Akibat dari kebijakan kuota dan pembatasan yang biasanya terjadi adalah penurunan jumlah barang di pasar yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga. 

        Penggunaan sistem kuota justru mendorong kenaikan harga, meningkatkan gejolak (volatility) harga memperburuk dampak kekurangan pasokan bahan komoditas, dalam hal ini pangan, terutama di tengah ancaman gagal panen akibat perubahan iklim.

        Kebijakan lisensi impor dan ekspor juga perlu dikaji ulang dan diperbaiki menuju ke satu sistem yang adil, transparan, dan simpel atau tanpa hambatan. Sebagai contoh, perizinan lisensi impor dan ekspor perlu diberikan secara non-diskriminatif terhadap perusahaan yang memang sudah memenuhi syarat-syarat paling dasar seperti izin usaha atau kepemilikan fasilitas.

        “Sistem yang ada harus memberikan kesempatan yang adil kepada semua importir yang kompeten dan memenuhi persyaratan. Hal ini dapat memunculkan kompetisi yang sehat antar mereka. Pada akhirnya, konsumen yang diuntungkan karena mendapatkan akses pada komoditas berkualitas dengan harga yang terjangkau,” tambah Felippa.

        Pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan sistem impor otomatis atau automatic import licensing system (AILS) karena sistem ini memungkinkan semua pihak yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan izin impor.

        Sistem dikelola secara transparan dan memungkinkan pihak yang mengajukan izin impor untuk lebih responsif terhadap kebutuhan pasar tanpa terkendala prosedur yang panjang.

        “Lebih baik pemerintah menghilangkan restriksi impor dan fokus pada upaya yang mendukung peningkatan produktivitas pangan sambil menggunakan sistem perdagangan yang efektif sehingga tidak merugikan konsumen dan tidak merugikan kepentingan Indonesia di dunia internasional,” tegasnya.

        Penggunaan kuota dan lisensi impor sering disebut sebagai sebuah cara untuk melindungi petani dari persaingan harga dengan produk impor.

        "Namun penggunaannya justru dapat menghambat akses masyarakat terhadap produk pangan impor yang harganya lebih murah ketimbang produk dalam negerinya,"pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Boyke P. Siregar
        Editor: Boyke P. Siregar

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: