Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Akankah Amerika Serikat Take Over Indonesia Lewat Pemilu 2024? Ada Capres Endorse?

        Akankah Amerika Serikat Take Over Indonesia Lewat Pemilu 2024? Ada Capres Endorse? Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Indonesia akan menggelar Pemilu 2024 mendatang. Momentum krusial ini akan menjadi penentu siapakah sosok yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Indonesia pasca Jokowi.

        Research Director of IndoNarator, Harsam mengungkapkan banyak figur potensial belakangan mulai bermunculan. Namun, tak satu pun di antara nama-nama yang menghiasi bursa pencapresan dipastikan memenangi kontestasi elektoral. Pasalnya, banyak variabel yang harus dihitung, termasuk intervensi asing.

        "Kepentingan asing di Pemilu 2024 dipastikan berlangsung sengit, menimbang momentum electoral politics akan datang tidak sekadar memilih sosok pengganti Jokowi," kata Harsam dalam keterangan resminya, Rabu (1/6/2022).

        Baca Juga: Bantah Pembuatan KTP-el WNA untuk Kepentingan Pemilu, Ini Penjelasan Dukcapil Kemendagri

        Pemilu 2024 dinilai sebagai momentum penting bagi negara berkepentingan, terutama Amerika Serikat (AS) untuk melancarkan misi besarnya. AS dinilai nyaris tidak pernah absen dalam menancapkan kepentingannya di balik perhelatan Pemilu yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Bahkan, dalam sejarahnya mereka selalu mencoba mengintervensi pemilihan presiden sebanyak 81 kali antara tahun 1946 hingga 2000. 

        Untuk kasus Indonesia, intervensi tersebut bahkan bukan jadi rahasia umum lagi. Sejak era kepemimpinan Soekarno, AS terbilat aktif dalam memengaruhi sistem perpolitikan nasional, termasuk intervensi terhadap penyelenggaraan Pemilu yang berlangsung dari waktu ke waktu.

        Selain itu, lanjut Harsam, dengan mengutip Ekonom senior, Kwik Kian Gie menyatakan secara gamblang mengungkapkan intervensi AS itu dilakukan melalui berbagai modus, termasuk memanfaatkan para pejabat untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Dubes AS di Indonesia untuk bertemu langsung dengan para kandidat dan tokoh-tokoh nasional dalam jamuan-jamuan khusus.

        Baca Juga: Jokowi Mau Pengadaan Logistik Pemilu Gunakan Produk Dalam Negeri, Ini Kata KPU

        "Bertolak pada kenyataan tersebut, apakah AS akan men-take over Indonesia melalui Pemilu 2024?," ungkapnya.

        Menurutnya, dari sekian alasan mengapa AS terlibat aktif dalam foreign elections ditengarai karena dua alasan, yakni melawan komunisme dan membendung dominasi Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

        Sementara itu, berdasarkan pernyataan Nina Agrawal dalam The U.S. is No Stranger to Interfering in the Elections of Other Countries, menulis, salah satu agenda utama AS yakni mengintervensi Pemilu di sejumlah negara, utamanya selama Perang Dingin dimotivasi oleh perang melawan komunisme.

        Ternyata, bagi AS, komunisme adalah musuh besar yang harus diperangi sampai ke akarnya. Dengan begitu, setiap negara yang menganut ideologi komunisme sudah pasti menjadi musuh bahkan termasuk musuh dunia itu sendiri.

        Selain menegakkan demokrasi, kepentingan besar AS terhadap Pemilu di negara-negara demokrasi, termasuk dalam hal ini Pemilu 2024 di Indonesia, adalah untuk memperluas wilayah hegemoninya. 

        "Kita ketahui bersama bahwa pasca-Perang Dingin, kekuatan hegemoni dunia tidak lagi berbentuk unipolar (mengandalkan satu kekuatan tunggal), dengan US [AS] sebagai satu-satunya negara adikuasa. Kebangkitan China tentu menjadi ancaman tersendiri bagi US dewasa ini," jelasnya.

        Baca Juga: Berharap Ada Tiga Paslon di Pilpres 2024, Pengamat: Semoga Tidak Ada Parpol Lain yang Masuk KIB

        Ancaman baru ini membuat AS dan sekutunya harus mendesain ulang basis kekuatan baru demi mengimbangi pengaruh Tiongkok dalam berbagai dimensi. Dengan bergesernya peta kekuatan geopolitik baru ke kawasan Asia Pasifik–khususnya di kawasan Indo-Pasifik–memaksa AS harus sesegera mungkin menemukan kawan baru demi mempertahankan dominasinya.

        Motivasi mencari partner baru di kawasan Pasifik ini mendorong AS berkepentingan besar terhadap apapun agenda politik, ekonomi, dan pertahanan di kawasan ini. Apalagi, situasi keamanan di kawasan Indo-Pasifik belakangan sedang mengalami eskalasi konflik akibat arogansi Tiongkok atas klaim nine dash line (Sembilan garis putus-putus).

        Wilayah sengketa ini mengundang perselisihan lantaran di dalamnya terdapat cadangan sumber daya alam melimpah yang menjadi daya tarik. 

        Baca Juga: Siapa Capres NasDem di Pilpres 2024?

        "Kawasan ini juga merupakan wilayah strategis untuk dibangun pangkalan militer bagi negara berkepentingan untuk mengontrol jalur perdagangan dunia," ujarnya.

        Harsam pun kembali mengutip pernyataan James Di Pane dalam tulisannya, Why this Dispute in South China Sea Matters to America menyatakan, AS sendiri memandang agresi Tiongkok untuk menguasai kawasan ini sebagai problem serius lantaran membawa dampak negatif terutama bagi kepentingan perdagangan global. 

        "Ini cukup beralasan, menimbang wilayah perselisihan ini memfasilitasi sepertiga dari jalur perdagangan ekonomi dunia," katanya.

        Hal tersebut senada dengan Swaine dalam America's Security Role in the South China Sea, yang mengatakan, terdapat tiga alasan mengapa AS tertarik untuk terlibat dalam perselisihan ini. Pertama, kawasan ini merupakan bagian dari rute transit utama untuk lalu lintas komersial maritim ke dan dari Asia Timur dan untuk Angkatan Laut AS. 

        Kedua, sengketa kepemilikan banyak pulau kecil, terumbu karang, dan bebatuan di antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, termasuk sekutu terdekat AS, Filipina, menimbulkan ketegangan yang dapat mengakibatkan konflik dan ketidakstabilan. Ketiga, Tiongkok pada akhirnya dapat menggunakan pengaruhnya yang berkembang di kawasan itu untuk menciptakan lingkup pengaruh yang merugikan kepentingan AS kini dan akan datang.

        Lebih lanjut, kata Harsam, mengutip pernyataan resmi pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri, bahwa posisi AS dalam perselisihan di Laut Natuna Utara ini tegas menolak klaim sepihak Tiongkok dan menganggap apa yang dilakukannya sebagai bentuk pelanggaran hukum itu sendiri. 

        Baca Juga: Anies, Ganjar, Puan, Airlangga Belum Jelas di Pilpres 2024, Desmond Gerindra: Hanya Prabowo!

        Bagaimana tidak, klaim Tiongkok atas 90 persen dari wilayah seluas 2 juta kilometer persegi yang yang membentang sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam itu memicu eksalasi konflik di kawasan itu sejak beberapa waktu belakangan.

        "Indonesia sendiri sebetulnya menghadapi ancaman serius di balik klaim sepihak negeri Tirai Bambu itu," ungkapnya.

        Pasalnya, Indonesia yang selama ini menganggap kawasan di ujung selatan Laut China Selatan yang pada 2017 silam menamainya Laut Natuna Utara itu sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan putusan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dengan demikian, bagi Indonesia, Laut Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan NKRI yang harus dibela hingga tetes darah penghabisan. 

        Baca Juga: Amerika Curiga China Tipu Komisioner HAM PBB di Xinjiang karena...

        "Pertanyaannya, seberapa kuat Indonesia mampu mempertahankan wilayah kedaulatan itu dengan melihat kemampuan baik segi militer, ekonomi, maupun diplomasi yang terbilang kalah jauh dengan China? Berikut, bagaimana dengan kepentingan AS di balik peta percaturan geopolitik di kawasan ini?" tanya Harsam

        Besar kemungkinan AS akan men-take over Indonesia melalui sarana elektoral mendatang. Bahkan, AS sendiri bersama sekutunya memiliki kepentingan besar dalam membangun hegemoni baru di kawasan Indo-Pasifik. Mereka kini sedang sibuk membangun jaringan dan kepercayaan di negara kawasan Indo-Pasifik, khususnya ASEAN untuk kepentingan keamanan dan ekonomi jangka Panjang.

        Adanya Penandatangan Pakta Pertahanan AUKUS yang melibatkan trio AS, Inggris, dan Australia pada tahun lalu adalah bentuk nyata AS dan sekutu membangun basis kekuatan baru di kawasan strategis ini. 

        "Dengan demikian, sulit dihindari obsesi US ke depan dalam memperkuat hegemoninya di wilayah Indo-Pasifik melalui kerja sama dengan para pemimpin terkemuka di kawasan Indo-Pasifik. Agenda strategis ini hanya akan brjalan mulus jika US berhasil memengaruhi Indonesia sebagai salah satu negara berpengaruh di kawasan ini," jelasnya.

        Selain itu, di tengah kondisi ketegangan antara Indonesia dan beberapa negara di kawasan Indo-Pasifik dengan Tiongkok, ditengarai menjadi pintu masuk AS menawarkan kerja sama keamanan untuk membendung dominasi Tiongkok.

        Indonesia setelah mempertimbangkan segala risiko dan kemungkinan buruk yang ditimbulkan akibat eskalasi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik telah memberikan sinyal dukungan terhadap AS. Hal Itu terlihat melalui serangkaian pertemuan maupun kerja sama yang terjalin di antara kedua belah pihak.

        Baca Juga: Waduh Waduh, Projo Bisa Konflik dengan PDIP di Pilpres 2024

        Sebut saja beberapa di antaranya mulai dari pemberian lisensi Fregat Arrowhead 140  dari Inggris hingga rencana pembelian pesawat F-15 EX. Selanjutnya, latihan Garuda Shield yang digelar pada Agustus 2021 lalu juga semakin memperkuat asumsi tersebut. 

        Juga, jauh sebelum itu, Dubes AS untuk Indonesia, Joseph R. Donovan sempat menggelar kunjungan di Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), pada 7-9 November 2018. Kunjungan ini disebut bersejarah karena terakhir kali Dubes AS untuk Indonesia berkunjung ke Natuna terjadi 24 tahun silam.

        Dalam kesempatan itu, Donovan bertemu langsung dengan eks Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti, Bupati Natuna Abdul Hamid dan sejumlah "local strong man lainnya" yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. 

        Baca Juga: Selain Zulhas, PAN Siapkan Sosok Ini Sebagai Kandidat Pilpres 2024

        "Kunjungan itu bertujuan meningkatkan hubungan antara US dengan Natuna dalam konteks kemitraan strategis dengan pemerintah Indonesia," ungkapnya.

        Bahkan terbaru, kata Harsam, tepatnya pada 29-30 Maret 2022 kemarin, Duta Besar AS untuk Indonesia, Sung Yong Kim juga terpantau berkunjung ke Kepri. Dalam kesempatan itu, Dubes Kim terpantau melakukan kunjungan ke wilayah Batam dan Natuna.

        Kunjungan di Batam dilanjutkan dengan lawatan ke balai latihan maritim Badan Keamanan Laut (Bakamla) bersama Wakil Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia. AS berkomitmen membantu balai latihan itu dengan mengucurkan bantuan dana senilai kurang lebih Rp50 miliar. 

        Dalam rangka kerja sama keamanan maritim AS-Indonesia yang kuat, pemerintah AS juga telah berkomitmen memberikan bantuan senilai USD3,5 juta untuk membangun barak pria dan wanita, dapur makan, ruang kelas, kantor, dan laboratorium pelatihan penegakan hukum.

        "Agenda kunjungan Dubes US terbaru ini, berdasarkan beberapa sumber informasi yang diterima berpotensi US akan membangun pangkalan militernya di pulau Natuna. Meskipun rencana ini masih sebatas isu, bukan mustahil agenda tersebut cepat ataupun lambat akan tetap dimanifestasikan," ungkapnya.

        Dengan begitu, bukan tidak mungkin lewat sinyalemen yang diberikan, AS telah memiliki rencana cukup matang, termasuk bagaimana mengondisikan Indonesia ke depan melalui sosok penerus Jokowi yang dapat dipercaya.

        Baca Juga: Untuk Maju Pilpres 2024, Anies Baswedan Diberi Saran Lakukan Ini

        Harsam menyebutkan terdapat dua sosokcalon presiden potensial yang saat ini dikaitkan cukup dekat dengan AS. Kedua sosok tersebut yakni Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

        "Karena kedekatan ini beberapa bahkan menyebut peluang keduanya, atau salah satunya akan mendapat endorse dari US pada perhelatan Pemilu mendatang," ujarnya.

        Namun, terkait seberapa besar potensi dukungan yang bakal diberikan AS kepada kedua figur masih belum bisa ditebak pasti. Pasalnya, baik Andika ataupun Anies, masing-masing memiliki derajat kedekatan yang berbeda dengan AS.

        Baca Juga: Koalisi Indonesia Bersatu Tak Menutup Peluang Usung Anies atau Ganjar di Pilpres 2024

        Terlepas dari itu semua, IndoNarator mencermati, dukungan AS pada politik elektoral nanti kemungkinan jatuh ke sosok Jenderal Andika. Ini bukan tanpa alasan. "Mengapa bukan Anies? Sebab, hubungan Anies dan US selama beberapa waktu terakhir kurang begitu terlihat jika dibandingkan dengan Andika dan US," katanya.

        Belum lagi, dengan membaca kepentingan AS untuk Indonesia saat ini yang terang-terangan ingin memperkuat kerja sama di kawasan Indo-Pasifik, memberikan kans besar kepada Andika sebagai sosok yang selama ini terbukti memiliki andil besar dalam upaya kerja sama keamanan kawasan. 

        "Akhirnya, dengan melihat chemistry antara Andika dan US serta dengan mempertimbangkan besarnya atensi US dalam memperkuat perannya di kawasan Indo-Pasifik, bukan tidak mungkin US akan cenderung tertarik untuk membidik Jenderal Andika sebagai pemimpin Indonesia ke depan," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: