Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kawal UU TPKS Lewat DRPPA, Kemen-PPPA Berharap Dapat Tekan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak

        Kawal UU TPKS Lewat DRPPA, Kemen-PPPA Berharap Dapat Tekan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak Kredit Foto: Kemen-PPPA
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kasus pada perempuan dan anak masih menjadi perhatian publik. Di tahun 2021, banyak kasus kekerasan perempuan dan anak yang yang viral. Mulai dari orang tua kepada anak, dosen kepada mahasiswa  hingga pengasuh pondok pesantren kepada santrinya.

        Kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa sangat luas, seperti kekerasan verbal, fisik, seksual hingga kekerasan di dunia maya. Semua jenis kekerasan itu bisa berdampak nyata dan langsung terhadap korban secara fisik dan psikologis.

        Baca Juga: Kemen-PPPA Angkat 3 Isu di G20 EMPOWER, Dorong Kontribusi Perempuan dalam Pertumbuhan Ekonomi

        Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual, yaitu sebanyak 7.004 kasus.

        Berdasarkan data yang sama, Kementerian PPPA juga mencatat ada 8.478 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2021 dengan 15 persen di antaranya atau 1.272 kasus merupakan kasus kekerasan seksual.

        Kasus Kekerasan pada Anak dan Perempuan yang Viral di Tahun 2021

        Akhir tahun 2021, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kasus seorang guru pesantren bernama Herry Wirawan alias HW yang merudapaksa 12 santriwatinya sendiri. Ia adalah seorang guru ngaji di Pondok Pesantren di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat.

        HW melakukan aksi bejatnya itu dalam kurun waktu tahun 2016 hingga 2019 dan baru terungkap ke publik pada tahun 2021. Dari 12 santriwati yang dirudapaksa HW, sejumlah korban bahkan sudah hamil berulang kali. Hal tersebut disebabkan HW juga berkali-kali melakukan aksi bejatnya terhadap para korban.

        Atas perbuatannya, Pengadilan Tinggi (PT) Bandung memutuskan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Vonis yang dijatuhkan pada 4 April 2022 tersebut lebih berat dari putusan Pengadilan Negeri Bandung. "Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup," ujar Hakim ucap hakim PT Bandung yang diketuai oleh Herri Swantoro, Senin (4/4/2022).

        Selain kekerasan seorang guru pesantren kepada anak di bawah umur, seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri) berinisial R yang terbukti melecehkan mahasiswinya divonis 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta atau subsider 6 bulan penjara. Sebelumnya, kasus tersebut terungkap setelah pihak kepolisian menerima laporan dari korban C pada 1 Desember 2021.

        Dari hasil penyidikan dan didukung alat bukti, diketahui kalau tersangka ini mengirimkan pesan singkat yang mengandung muatan pornografi seperti yang dilaporkan para korban. Dalam pesan singkat tersebut, tersangka R mengajak korban untuk melakukan panggilan video seks, menyuruh korban membuka pakaian dalam bagian atas, selanjutnya membayangkan tubuh korban dengan maksud meluapkan nafsunya. Reza diduga sudah mengirim chat porno terhadap sejumlah mahasiswinya bahkan sejak tahun 2014 silam.

        "Hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak sepantasnya sebagai dosen intelektual melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya," ujar Majelis Hakim Fatimah S.H, M.H saat membacakan berkas tuntutan, Senin (30/5/2022).

        UU TPKS Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

        Melihat masih tingginya kasus kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, pada tahun 2012 Komnas Perempuan menginisiasi pembentukan peraturan perundangan yang memayungi masalah tersebut. Sebab menurut Komnas Perempuan, Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

        Setelah menunggu 10 tahun, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya menjadi undang-undang. Pada Selasa (12/4/2022), DPR RI mengesahkan UU TPKS dalam rapat paripurna yang dipimpin Puan Maharani.

        Pengesahan UU TPKS tentu menjadi angin segar dalam upaya perlindungan perempuan. Dalam UU TPKS, Negara hadir memenuhi hak korban atas dana Pemulihan termasuk layanan kesehatan saat korban mendapat perawatan medis, dana Penanganan Korban sebelum, selama dan setelah proses hukum, termasuk pembayaran kompensasi untuk mencukupi sejumlah Restitusi ketika harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup.

        Tidak hanya itu, UU TPKS juga menjamin pemberian upaya pencegahan dan penanganan di wilayah-wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), daerah konflik, daerah bencana dan di semua tempat yang berpotensi terjadinya TPKS. Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS, serta partisipasi keluarga dalam Pencegahan TPKS juga diatur dalam UU TPKS.

        Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu membuka babak baru penanganan kasus kekerasan seksual yang sudah menggunung di Indonesia. Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy menegaskan, ada ketentuan pidana yang menjerat pelaku kekerasan seksual. Pertama, ketentuan pidana pokok. Ketentuan ini meliputi pidana penjara dan kerja sosial.

        Baca Juga: Apresiasi Kejaksaan RI, Menteri PPPA Ajak Seluruh Elemen Masyarakat Kawal Implementasi UU TPKS

        Olivia menegaskan, ketentuan pidana ini bertujuan untuk mencegah pola yang berulang, memperbaiki pola pikir dan perilaku pelaku, dan menjerakan pelaku. "Ini juga mewujudkan kesejahteraan sosial bagi korban secara khusus dan Indonesia secara umum," kata Olivia dalam diskusi daring 'Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA)', Sabtu, (23/4/2022).

        Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan, pihaknya akan terus mengawal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Oleh karena itu, Menteri Bintang berharap sinergi dan kolaborasi baik yang telah terbangun antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) dengan media massa akan terus ditingkatkan untuk mengawal implementasi dari UU TPKS.

        Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak perlu menjadi perhatian bersama karena keduanya masih jadi kelompok rentan yang kerap mengalami diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pelabelan, hingga kekerasan struktural.

        "Perlu menjadi perhatian besar kita bersama bahwa perempuan dan anak mengisi 64,6 persen dari seluruh populasi Indonesia. Artinya, untuk mencapai Indonesia yang unggul dan sejahtera, melalui pembangunan berkelanjutan dalam berbagai bidang, perempuan dan anak tidak boleh ditinggalkan," ujar Bintang dalam sambutannya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2022 secara virtual, Selasa (25/5/2022).

        Bintang mengungkapkan, isu-isu yang melingkupi perempuan dan anak bersifat kompleks sehingga penyelesaiannya membutuhkan intervensi dari seluruh sektor pembangunan serta dari berbagai macam sisi dan pendekatan. Intervensi, menurut Bintang, harus dilakukan dari segi kebijakan dan penegakan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.

        "Untuk itu, perlu adanya kesadaran dan keterlibatan semua pihak dalam mencari solusi-solusi baru, mengawal implementasi dari program-program yang sudah berjalan, serta mengonstruksi ulang nilai-nilai yang ada di masyarakat terkait pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Tentunya dukungan dari Kejaksaan RI menjadi sangat besar dibutuhkan," kata dia.

        Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak

        Menurut penelitian Komnas Perempuan RI, seringnya terjadi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini karena di Indonesia masih berkembang stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang biasa mendapat kekerasan. Untuk itu, menurut Kemen-PPPA, hal terpenting yang dapat dilakukan untuk membuang stigma tersebut adalah dengan menyiapkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di Indonesia.

        DRPPA adalah sebuah desa/kelurahan yang berperspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, berkelanjutan, sesuai dengan visi  pembangunan Indonesia.

        Plt Deputi bidang Partisipasi Masyarakat Indra Gunawan, mengatakan, DRPAA ini merupakan kolaborasi Kementerian PPPA dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

        "(Susksenya) pembangunan DRPPA tentu tidak hanya peran dari atas (Pemerintah Pusat), tetapi juga peran dari Pemerintah Desa," kata Indra dalam Sosialisasi Permen PPPA no 13 Tahun 2021 dan Kolaborasi DRPPPA bersama Forum PUSPA, pada Senin (27/5/2022) secara virtual.

        Pengembangan model ini untuk menjawab lima arahan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), terkait PPPA dimulai dari tingkat mikro, yaitu desa/kelurahan. Kelima arahan tersebut adalah peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang kewirausahaan berperspektif gender, peningkatan peran ibu/keluarga dalam pengasuhan/pendidikan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.

        Pembentukan DRPPA ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan isu-isu yang melingkupi perempuan dan anak. DRPPA dapat diukur dari 10 indikator, di antaranya ialah data pilah perempuan dan anak, adanya upaya dari desa untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pencegahan perkawinan anak, serta meningkatnya perempuan wirausaha di desa.

        Baca Juga: Di Pemerintahan Negara Tetangga Indonesia, 10 Perempuan Diangkat Jadi Menteri

        Inisiasi DRPPA oleh Kementerian PPPA ini dimulai tahun 2021 di sepuluh desa percontohan dengan pembiayaan seluruhnya berasal dari APBN. Jauh meningkat dibandingkan tahun 2021, di tahun 2022 Kementerian PPPA mengembangkan DRPPA di 132 desa sambil meneruskan 10 desa tahun 2021 sehingga totalnya menjadi 142 desa.

        Dengan makin meningkatkannya dukungan dan kesadaran para kepala daerah terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, jumlah ini kembali bertambah menjadi 156 desa dan 70 kelurahan.

        Terbaru, Menteri PPPA Bintang Puspayoga melakukan pengukuhan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT pada Rabu (11/5/2022).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: