Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ekonom DBS Optimistis Indonesia Miliki Prospek Ekonomi Menjanjikan di Tengah Ketidakpastian Global

        Ekonom DBS Optimistis Indonesia Miliki Prospek Ekonomi Menjanjikan di Tengah Ketidakpastian Global Kredit Foto: Humas DBS
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Chief Economist DBS Indonesia, Taimur Baig, optimistis Indonesia memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan di tengah situasi perekonomian global saat ini yang mengalami banyak guncangan.

        Misalnya, terkait perang Rusia dan Ukraina yang akhirnya menyebabkan Ukraina membatasi ekspor sejumlah komoditas pangan, Taimur menyebut Indonesia tidak akan terimbas signifikan dengan adanya larangan ini.

        Baca Juga: Pengembangan Kawasan Industri di Daerah Percepat Pertumbuhan Ekonomi

        "Saya rasa kita masih memiliki sumber suplai komoditas dalam jumlah besar di dunia ini, baik itu nasi, gandum, maupun kopi. Saya juga tidak melihat bahwa kita sedang berada di tengah krisis suplai parah karena kondisi ini lebih menyangkut ke permasalahan distribusi saja," ujar Taimur dalam keterangannya, Senin (6/6/2022).

        Lebih lanjut, dia menjelaskan apabila sektor publik tidak mampu mempertahankan keamanan pangan, ada beberapa peran yang dapat dilakukan pemerintah melalui pengadaan publik (public procurement) dan kepemilikan publik (public ownership). Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi kelembagaan yang tujuannya menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk pengelolaan rantai pasokan.

        Selain tantangan distribusi pangan, pasar berkembang (emerging market) juga mengalami tantangan lain dalam 35 tahun terakhir. Setiap kali Amerika Serikat (AS) menaikkan tingkat suku bunga, di mana menyebabkan volatilitas dan pasar global menekan mata uang, perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global menjadi sulit karena tingkat suku bunganya mengikuti tren global.

        Baca Juga: Dorong UMKM Digital, Bank DBS Indonesia Berikan Pinjaman Modal Rp100 Miliar ke Modalku

        Meski menjadi tantangan tersendiri, Taimur percaya hal ini masih dapat dikendalikan. Mengingat tidak seperti sebelumnya ketika peningkatan bunga menimbulkan berbagai permasalahan di Asia, kini ekonomi Asia memiliki cadangan devisa yang jauh lebih tinggi dan luas serta defisit ekonomi yang lebih rendah, sehingga membuat Asia lebih siap menaklukkan tantangan perekonomian yang kompleks.

        Selain itu, soal keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga, Taimur menganggap langkah ini tidak menjadi persoalan, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) stabil, dan Indonesia sejauh ini tidak menghadapi kesulitan pangan yang di luar kendali. 

        Secara keseluruhan, meskipun tingkat suku bunga di AS naik, tetapi hal ini tidak berpengaruh terhadap volatilitas rupiah. Alasannya, Indonesia telah memiliki eksposur terhadap banyak komoditas, dan harga komoditas yang tinggi pun tersedia di Indonesia. Kendati Indonesia juga pernah mengalami beberapa masalah krisis pangan global, tetapi di saat yang bersamaan, diimbangi juga dengan ekspor gas dan minyak.

        Meski Indonesia akan menghadapi sejumlah risiko, namun Taimur melihat risikonya tidak akan segenting negara lain. "[Indonesia] inflasi dan risikonya jauh lebih terkendali, sehingga bisa dikatakan prospek Indonesia berjalan baik dan mampu mencapai target," jelasnya.

        Berdasarkan atas basis historis, DBS menganalisis ekonomi Indonesia yang tumbuh 4,5 dan 4,8% sepanjang tahun ini tidak serta-merta bergantung pada apa yang terjadi di AS atau Tiongkok, berbeda dengan negara lain di Asia yang merasakan dampaknya. Sebaliknya, kondisi Indonesia lebih menitikberatkan pada ekonomi domestik pascapandemi yang kini mulai bangkit kembali.

        Baca Juga: Beri Pinjaman Rp100 Miliar, Bank DBS Indonesia dan Modalku Kerja Sama Dukung UMKM di Tengah Pandemi

        Taimur juga mengamati kenaikan pajak di Indonesia yang mulai diberlakukan pada April 2022 silam, dan menganggap kebijakan tersebut perlu untuk diterapkan. Rasio digit Indonesia berdasarkan perbandingan internasional sangat rendah dibandingkan AS yang hampir menyentuh 100% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan India sebesar 70% dari PDB, sementara Indonesia bahkan tidak menyentuh 40% dari PDB.

        Sejak krisis finansial yang terjadi pada 1997-1998, Indonesia sangat konservatif dalam hal pemberlakuan perusahaan induk (public sector holding) dan defisit fiskal. Negara-negara yang memperhitungkan PDB sebagian besar memiliki defisit PDB kisaran 4-6%. Dengan perspektif tersebut, defisit tahunan Indonesia dapat terbilang sangat rendah, namun perlu diingat jika terjadi kenaikan defisit yang tinggi, maka tetap perlu diwaspadai.

        "Pada dua tahun terakhir, 10-15% defisit, dibandingkan dengan Indonesia, sangatlah rendah. Hal ini memberi sinyal bahwa memasuki tahun 2020 ke depan, ada banyak negara di dunia yang mengkhawatirkan defisit fiskal," ungkap Taimur.

        Baca Juga: Enam Langkah Strategis Ini Bisa Perkuat Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Masalah Besar Dunia

        Menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Taimur menelaah bahwa Indonesia tidak akan mengalami perubahan kebijakan ekonomi yang besar. "Dalam 10-20 tahun ini, terlepas dari adanya pergantian presiden, kebijakan ekonomi Indonesia tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan mengingat partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi ekonomi yang sangat bertolak belakang," papar dia.

        "Berbeda dengan apa yang terjadi di AS, ketika satu partai memiliki kekuasaan, maka kebijakan yang sudah dijalankan seringkali dirombak sepenuhnya sehingga mengakibatkan perekonomian AS berada dalam ketidakpastian," kata Taimur.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: