Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Biomassa Dapat Menjadi Sumber Daya Menjanjikan untuk Co-Firing

        Biomassa Dapat Menjadi Sumber Daya Menjanjikan untuk Co-Firing Kredit Foto: PLN
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Besarnya ketersediaan biomassa di Indonesia dapat menjadi sumber daya energi terbarukan yang memiliki karakteristik berlanjut dan sustainable sehingga dapat membuat energi lebih terjamin. 

        Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tumiran mengatakan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi, dapat dimanfaatkan langsung untuk menghasilkan energi listrik melalui berbagai proses, salah satunya adalah dengan co-firing, di mana biomassa digabungkan di pembangkit berbahan bakar fosil, batu bara.

        "Keuntungannya tidak memerlukan pembangunan pembangkit baru. Upaya co-firing di lingkungan PT PLN (Persero) perlu dihargai dan diapresiasi sebagai upaya untuk percepatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), agar kontribusi EBT di dalam bauran energi nasional dapat terus ditingkatkan," ujar Tumiran dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (4/7/2022).

        Baca Juga: PLN Sukses Gunakan 100% Biomassa Jadi Bahan Bakar PLTU Tembilahan

        Tumiran mengatakan hal tersebut seajan dengan Kebijakan Energi Nasional, tujuan target 23 persen konstribusi EBT di 2025. Salah satu tujuannya adalah menciptakan kemandirian energi dan menciptakan lapangan kerja baru sektor energi, sehingga konstribusi EBT memberikan dukungan pertumbuhan ekonomi, penguasaan teknologi, dan penciptaan lapangan kerja baru.

        Menurutnya, pilihan akselerasi penggunaan biomassa di PLTU PT PLN adalah pilihan yang tepat. Hal ini diharapkan dapat menggairahkan ekonomi masyarakat dan potensi lokal juga dapat berkembang.

        Menurut Tumiran, biomassa nasional dapat bersumber dari berbagai varian, seperti sisa kayu olahan, atau pengembangan tanaman energi dan memanfaatkan sampah sisa olahan masyarakat. 

        "Skenario dan upaya untuk mendapatkan biomassa dalam jumlah besar tidaklah mudah, tantangannya antara lain menyangkut regulasi pricing dan peran pemerintah yang perlu memberikan perhatian lebih," ujarnya.

        Lanjutnya, pengembangan biomassa untuk meningkatkan pemanfaatan EBT membutuhkan sentuhan tangan pemerintah. Pasalnya perlu kebijakan yang mendukung. 

        Tumiran menambahkan pemanfaatan biomassa pada sektor kelistrikan PLN kini bersaing dengan pasar internasional. Pasalnya, harga wood pellet sebagai bahan baku biomassa lebih mahal jika diekspor ketimbang dijual di dalam negeri.

        "Saya dengar PLN sudah susah berkompetisi untuk mendapatkan hasil gergajian, karena apa? Dibuat dalam bentuk pelet oleh pengembang kemudian diekspor karena harga pelet di pasar internasional itu lebih mahal dari pada di dalam negeri," ungkapnya.

        Menurutnya, kondisi ini harus mendapat perhatian pemerintah agar keberlanjutan pengembangan biomassa tetap terjaga, dengan membuat regulasi agar pemanfaatan di dalam negeri tetap menarik. 

        "Jadi siapa yang mengatur, regulator kita bagaimana cara mengatur supaya ini kompetitif bisa di dalam negeri," ujarnya. 

        Tumiran melanjutkan, untuk pemanfaatan biomassa yang bahan bakunya berasal dari sampah juga membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sehingga masyarakat memilah sampah yang cocok dijadikan biomassa.

        "Bagaimana kesadaran masyarakat untuk mengatur sampah, tapi apakah kesadaran masyarakat bisa tumbuh sendiri? Enggak bisa, perlu peran pemerintah untuk mengatur," ujarnya.

        Sampah tidak bisa diolah masyarakat sendiri, dibutuhkan peran pemerintah untuk mengolahnya. Hal ini pun telah dilakukan oleh negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Swedia.

        "Di mana-mana saya ke Jepang, ke Korea, ke Swedia itu memang pemerintah turut campur dalam mengolah sampah, sampah butuh diatur tidak bisa menyerahkan pengolahan sampah ke pengusaha. Pemerintah mengatur pengusaha bisa memanfaatkan bagian yang bermanfaat," paparnya. 

        Tumiran mengungkapkan, pemanfaatan sampah untuk energi pun masih sulit karena banyak hambatan. Salah satunya adalah perbedaan persepsi tentang biaya pengolahan sampah yang dikeluarkan pemerintah untuk badan usaha.

        "Ada yang beranggapan kalau dikasih tipping fee side produknya jadi listrik pemerintah memberikan subsidi pengusaha, kesannya demikian" tuturnya.

        Oleh karena itu, harga biomassa sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan harga batu bara seperti DMO yang harganya ditetapkan oleh pemerintah.

        "Walaupun tidak harus mengikuti mekanisme pasar internasional, tetapi cara penentuan harga memperhatikan basic cost yang dapat dihitung. Misalnya untuk pengembangan hutan tanaman energi, ada struktur tost yang dapat dihitung untuk menentukan kelayakan harga biomassa kayu sebagai energi," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: