Menyeimbangkan Inovasi dan Risiko di Tengah Booming Pasca Pandemi dalam Layanan Keuangan Digital
Transaksi dengan perbankan digital telah tumbuh secara signifikan sejak dimulainya pandemi COVID-19. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengakui tren pertumbuhan tersebut terjadi karena meningkatnya tingkat penerimaan dan preferensi yang dimiliki masyarakat, juga karena mayoritas dari mereka melakukan belanja online di berbagai platform e-commerce.
Warjiyo baru-baru ini juga menyatakan “digitalisasi adalah pilar Indonesia Maju untuk terwujudnya ekonomi dan keuangan digital nasional” pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Bali pada Juli tahun ini.
Di antaranya beberapa rencana utama realisasi visi yang akan dilakukan: a) integrasi ekonomi keuangan digital, b) mendukung digitalisasi perbankan, c) memastikan teknologi keuangan dan harmonisasi bank antara inovasi/risiko sistem pembayaran; dan d) mendorong sistem pembayaran digital untuk mempercepat ekonomi keuangan digital.
Antara tahun 2017 hingga 2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menyampaikan bahwa sebanyak 2.593 cabang fisik bank telah ditutup, tetapi pada saat yang sama terjadi pertumbuhan 3X lipat dalam transaksi digital. Ini menyiratkan bahwa banyak bank yang telah menyadari adanya penurunan kebutuhan untuk kehadiran fisik karena kemajuan teknologi yang cepat dalam perbankan digital.
Banyak bank dan platform e-commerce ternama di Indonesia yang telah memiliki layanan dan aplikasi bank digital, contohnya Jenius by BTPN, Livin by Bank Mandiri, Allobank, MNC Bank dan Bank Jago. Lebih banyak kontributor yang telah diluncurkan atau sedang dalam tahap persiapan akhir untuk memasuki ruang perbankan digital.
Namun, kecepatan digitalisasi perlu disesuaikan dengan manajemen risiko yang tepat dan kepatuhan terhadap peraturan terutama dalam menghadapi serangan kriminal yang semakin canggih termasuk identitas sintetis, peniruan identitas (deep fakes) dan penipuan rekayasa sosial.
Regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OKJ), memfasilitasi transisi digital onboarding Indonesia agar tidak hanya mulus, tetapi juga aman dan terjamin. Sejumlah peraturan telah diperkenalkan untuk berbagai proses eKYC (electronic Know Your Customer) untuk mencegah dan mengidentifikasi pencucian uang, pendanaan terorisme serta meminimalisir risiko pencurian identitas dan penipuan.
Di tengah pertumbuhan perbankan digital pasca pandemi Covid19, juga terjadi peningkatan aktivitas ilegal mulai dari pencurian identitas, aktivitas phishing, penipuan akun dan penipuan. Di Indonesia sendiri, Indonesia Anti-Phishing Data Exchange (IDADX) mencatat total 3.180 serangan phishing di domain internet Indonesia (dot.id) pada kuartal pertama tahun 2022.
Di luar sektor perbankan digital, kepemilikan aset kripto di Indonesia termasuk yang tertinggi secara global, dengan hampir 41% penduduk Indonesia dengan pendapatan tahunan lebih dari US$14.000 memiliki aset kripto. Berdasarkan data terakhir Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Kementerian Perdagangan, jumlah investor aset kripto di Indonesia pada Februari 2022 mencapai 12,4 juta investor.
Tetapi jumlah dan nilai penipuan kripto yang tinggi semakin mengkhawatirkan. Secara global, ada penipuan senilai 14 miliar dolar AS di crypto pada tahun 2021. Indonesia menyumbang 11% dari total korban penipuan kripto pada 2019, tertinggi kedua di dunia. Angka-angka tersebut membuktikan kerentanan konsumen dan bursa Indonesia terhadap penipuan dan peretasan semacam itu.
Dengan sedikitnya 25 perusahaan perdagangan kripto berlisensi di Indonesia, Bappebti juga baru-baru ini menghentikan penerbitan sertifikat pendaftaran bagi calon pedagang aset kripto.
Menanggapi ancaman keamanan ini, langkah-langkah keamanan yang lebih ketat perlu diterapkan oleh bank, lembaga layanan keuangan, pertukaran crypt dan platform multi-finance.
Itulah sebabnya manajemen data, keamanan, dan kepatuhan bagi setiap pelanggan menjadi perhatian penting bagi bisnis di masa mendatang. Menggunakan artificial intelligence, big data and machine learning, banyak dari proses ini dapat didigitalkan dan diotomatisasi ke tingkat akurasi yang lebih tinggi, menurunkan biaya dan sumber daya yang dibutuhkan sekaligus mencegah risiko reputasi.
Bank, baik tradisional atau digital, multifinance dan perusahaan kripto juga harus mengevaluasi dan menilai mitra mana yang tepat bagi mereka dalam aspek ini, dan apakah mereka memiliki keahlian, bakat, dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung mereka.
Hanya dengan begitu peluang yang dihadirkan oleh era digital dapat sepenuhnya diselaraskan dan dimanfaatkan untuk menyeimbangkan inovasi dan perlindungan konsumen
Ronald Molenaar adalah Country Manager ADVANCE.AI di Indonesia. Ia memiliki pengalaman selama 20 tahun di bidang teknologi, keuangan, dan fintech di Indonesia dan di seluruh dunia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: