Kata-kata Dubes Rusia untuk Indonesia Bikin Barat Kelojotan: Kami Waras Soal Senjata Nuklir
Rusia akan menggunakan senjata nuklir jika ada ancaman secara langsung dari sejumlah negara Barat terkait perang di Ukraina, kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva.
Menurut Dubes Rusia itu, kata-kata Presiden Rusia Vladimir Putin banyak dipelintir negara-negara Barat.
Baca Juga: Rusia Janji Gak akan Gegabah Soal Nuklir, Kata-kata Putin Jadi Jaminannya
Sebelumnya, Rusia disebut mengancam dunia karena akan menggunakan senjata nuklir. Namun, Vorobieva membantah. Mantan Dubes Rusia untuk Malaysia itu mengatakan, Rusia memiliki doktrin pertahanan yang selalu dipegang teguh.
Dia bilang, satu-satunya alasan bagi Rusia untuk menggunakan senjata nuklir adalah ancaman langsung terhadap keamanan Rusia.
“Tidak ada alasan lain selain itu,” tegas Vorobieva, dalam jumpa pers, di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan, kemarin.
Presiden Putin telah berulang kali menegaskan, penggunaan senjata nuklir akan mengarah pada tindakan bunuh diri dunia. “Kami bukan orang gila yang menggunakan nuklir sebagai senjata,” tambahnya.
Dia justru mengingatkan, satu-satunya negara di dunia yang benar-benar menggunakan nuklir sebagai senjata adalah Amerika Serikat (AS) pada Perang Dunia II. Korbannya saat itu adalah Jepang.
“Tiap tahun, mereka memperingati peristiwa itu,” sindir Vorobieva.
Sementara kehadiran Putin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara yang tergabung dalam Group of Twenty (G20), masih jadi tanda tanya.
Dubes Vorobieva menjelaskan, sampai saat ini rencana Putin datang ke Indonesia masih dalam tahap pembicaraan.
Dia bilang, kedatangan Putin bergantung pada situasi di Rusia dan kondisi di Indonesia.
“Semua masih dalam pematangan dan semua tergantung situasi di Rusia ataupun di Indonesia,” ujarnya.
Meski Indonesia sudah menyediakan hotel untuk Putin, Vorobieva masih belum bisa memastikan kedatangan Putin di KTT di Bali itu, 15-16 November nanti. Namun, dia menggarisbawahi jika nantinya Putin tidak hadir, maka pemimpin Rusia itu akan mengirim wakilnya untuk menggantikannya.
“Kami sudah melihat hotelnya,” ungkapnya.
KTT G20 diharapkan jadi momen untuk perdamaian Rusia-Ukraina. Namun, Vorobieva mengatakan, pihaknya tak yakin KTT G20 bisa menghasilkan solusi damai bagi kedua negara.
“Tapi kami yakin Indonesia telah mencoba usaha terbaiknya,” ujarnya. Dia menambahkan, Rusia tetap mendukung Presidensi Indonesia.
“Kami tidak meragukan kerja rekan kami dari Indonesia untuk melakukannya,” ucapnya.
Pada jumpa pers itu, Vorobieva juga menyinggung pemboman Jembatan Crimea, sebagai serangan teroris yang dilakukan Ukraina. Aksi balasan langsung pun dilakukan. Pasalnya, kata Vorobieva, jembatan itu merupakan simbol persatuan Rusia.
“Kami yakin dan memiliki bukti, Ukraina berada di balik serangan teroris ini,” kata Vorobieva.
Dia mengatakan, jembatan itu dibangun untuk menghindari transit warga Rusia ke wilayah Ukraina. Setelah jembatan itu dibangun, Crimea bisa langsung diakses dari dan menuju Rusia.
Menurutnya, serangan terhadap jembatan itu telah melanggar semacam garis merah yang telah ditetapkan. Rusia, kata dia, tidak pernah menargetkan objek infrastruktur transportasi terhadap Ukraina.
“Kami tidak dapat mentolerir serangan teroris di wilayah Rusia mana pun,” tegasnya. Dia menegaskan, serangan balik yang terjadi belakangan ini ke Ukraina merupakan jawaban atas insiden ledakan di Crimea.
“Ukraina berperilaku sebagai negara teroris dan tentu saja kami tidak bisa mengabaikan ini,” tandasnya.
Referendum
Pada kesempatan itu, Vorobieva juga menjelaskan, belum lama ini referendum digelar di empat wilayah Ukraina, yang merupakan keinginan mayoritas warga di wilayah tersebut. Yakni Donetsk, Luhansk, wilayah Zaporizhia, dan Kherson.
Sebetulnya, keempat wilayah itu sudah menyatakan kemerdekaannya sejak 2014. Tapi, keinginan tersebut tidak digubris Ukraina.
Menurutnya, hasil referendum menyatakan mayoritas warga di keempat wilayah tersebut memang menginginkan bergabung dengan Rusia.
Rinciannya, 98 persen populasi Luhansk setuju kembali dan bergabung dengan Rusia. Lalu 99 persen di Donetsk, 87 persen di wilayah Kherson, dan 83 persen populasi di wilayah Zaporizhia, ingin bergabung dengan Rusia.
Dia menegaskan, referendum itu tidak ilegal seperti yang dituduhkan negara-negara Barat. Dia juga menyebut sangatlah tidak mungkin memaksa 8 juta orang menyetujui referendum tersebut. “Ini keinginan warga di empat wilayah tersebut,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto