DPR dan Pemerintahan Jokowi Dikuliti, Lihatlah 10 Poin Kontroversial Pasal KUHP Ini!
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Pusat resmi mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Rapat Paripurna yang digelar pada Selasa (7/12/22) lalu. Dalam proses pengesahannya, DPR dan Pemerintah Pusat menerima banyak protes dari masyarakat sipil.
Protes tersebut dilakukan masyarakat sipil sebab dalam RKUHP dinilai banyak mengandung pasal-pasal yang dianggap kontroversi jika tetap dimasukan. Para pihak yang menyuarakan serangkaian protes juga menilai bahwa RKUHP banyak mengandung pasal warisan kolonial.
Baca Juga: UU KUHP Berpotensi Mengkriminalisasi Wartawan, Dewan Pers: Ini Mengancam Kemerdekaan Pers!
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Pacul menyebut bahwa KUHP bukanlah hal yang sempurna. Sebab, Pacul menilai bahwa pekerjaan manusia tidak pernah ada yang sempurna. Oleh sebab itu, Pacul meminta para pihak yang merasa keberatan dengan pengesahan KUHP untuk menempuh jalur hukum, tidak perlu menggelar aksi demonstrasi.
"Kalau ada memang merasa sangat menggangu, kami persilahkan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik. Oleh karena itu, yang masih tak sepakat dengan pasal yang ada, silahkan mengajukannya ke Mahkamah Konsitusi melalui judicial review," kata Pacul dalam konferensi persnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/12/22).
Lantas pasal mana saja yang dianggap kontroversi oleh masyarakat sipil? Berikut ringkasan pasal kontroversi yang masuk dalam KUHP yang baru:
1. Penghinaan Presiden/Wakil Presiden
Penghinaan Presiden/Wakil Presiden masuk dalam pasal 218. Pasal tersebut masuk ke dalam delik aduan yang menyebut; setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat diri presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana paling lama tiga tahun pidana.
"Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat 1.
Kendati demikian, ayat kedua dalam pasal 218 memberikan pengecualian bahwa ayat satu tidak termasuk delik aduan seandainya dilakukan untuk kepentingan membela diri.
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," bunyi ayat 2.
2. Penghinaan Instansi Pemerintah
Serupa dengan pasal 218, pasal 240 juga mengatur tentang penghinaan terhadap instansi pemerintah. Pasal tersebut juga termasuk delik aduan yang menjerat seseorang yang terbukti menghina pemerintah atau lembaga negara dipidana paling lama satu tahun enam bulan.
"Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal 240 ayat 1.
Pasal tersebut berlaku apabila seseorang terbukti menghina pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam ayat 2 pasal 240. Seseorang yang terbukti menghina, akan diancam pidana paling lama tiga tahun penjara dengan denda paling banyak kategori IV.
"Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi ayat 2 pasal 240.
3. Penyelenggaraan Unjuk Rasa Tanpa Izin
Pasal 256 mengatur hukum pidana terkait pihak yang terbukti menyelenggarakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalaln atau di tempat-tempat umum sehingga mengganggu kepentingan umum. Seandanya terbukti, pihak tersebut terancam pidana paling lama enam bulan penjara.
"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal 256.
4. Minimal Hukuman Koruptor
Hukuman tersebut diatur dalam pasal 603, di mana pelaku korupsi dijerat hukuman paling singkat dua tahun penjara, paling lama 20 tahun penjara. Pasal ini dianggap kontroversi sebab dalam aturan hukum sebelumnya, minimal hukuman bagi pelaku korupsi paling singkat empat tahun penjara.
"Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI," bunyi pasal tersebut.
5. Penyebarluasan Ideologi Selain Pancasila
Hukum pidana yang termuat dalam pasal 188 ini menegaskan bagi seluruh pihak yang terbukti menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/Marxism-Leninism yang bertentangan dengan Pancasila dimuka umum. Pasal tersebut mengancam setiap pihak yang terbukti dengan maksimal pidana 4 tahun penjara.
"Setiap Orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun," bunyi pasal 188 ayat 1.
Selain itu, pihak yang terbukti melanggar pasal tersebut juga bisa terancam dipidana tujuh tahun penjara apabila terbukti ayat satu dilakukan untuk mengubah atau mengganti dasar negara, yakni Pancasila.
Baca Juga: Ungkit Reshuffle Jokowi, Gigin Praginanto Curigai Aksi Bom Bunuh Diri Astanaanyar: Skenarionya...
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun," bunyi pasal 2.
Hukuman penjara dalam pasal tersebut akan terus bertambah seiring dengan kerugian yang dialami pihak yang menjadi korban. Ayat 3 paling lama 10 tahun penjara apabila menyebabkan kerusuhan dan keru6harya kekayaan; 12 tahun dalam ayat 4 jika terbukti mengakibatkan korban luka berat sebagaimana ayat 3; 15 tahun seandainya menimbulkan korban meninggal dunia dalam ayat 5.
Kendati demikian, pada ayat 6 menegaskan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika seseorang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/Marxism-Leninism untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Duh... Warga Sipil Laporkan Orang PKS ke MKD Soal Adu Mulut dengan Pimpinan DPR Terkait RKUHP
"Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan," bunyi ayat 6 pasal 188.
6. Penyiaran atau Penyebarluasan Berita
Aturan tersebut tertuang dalam pasal 263, di mana menekankan setiap orang yang menyebarluaskan berita yang dianggap bohong yang mengakibatkan kerusuhan di masyarakat diancam pidana paling lama 6 bulan penjara dengan denda maksimal kategori V.
Pasal ini menjadi kontroversi sebab dewan pers menyebut bahwa wartawan juga berpotensi terjerat dengan pasal yang sama jia menyebarkan kabar yang menimbulkan keonaran.
"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi pasal 263 ayat 1.
"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," ayat 2.
7. Menunjukkan Alat Kontrasepsi pada Anak
Pasal 408 menegaskan bahwa setiap orang yang secara terang-terangan menunjukkan alat kontrasepsi, akan diancam pidana denda paling banyak kategori I. Pasal tersebut menjadi kontoversi sebab Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai aturan tersebut berpotensi menjadikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik.
"Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I," bunyi pasal 408.
8. Tindak Pidana HAM Berat
Aturan tersebut termuat dalam Pasal 598. Pasal ini dinilai kontroversi sebab menurunnya hukuman pidana minimal dari yang sebelumnya 10 tahun, KUHP yang baru disahkan menjadi 5 tahun penjara.
Komnas HAM menilai bahwa diaturnya Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan ke dalam RKUHP dapat melemahkan bobot kejahatan/ tindak pidana tersebut, dan dikhawatirkan berkonsekuensi mengubah kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa; akan mengaburkan sifat khusus yang ada dalam kejahatan tersebut; dapat berpotensi menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif; ketidakjelasan/ ketidakpastian hukum dengan instrumen hukum lain yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP; serta Memiliki potensi celah hukum.
Berikut bunyi pasalnya:
Dipidana karena genosida Setiap Orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, atau kepercayaan dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
d. memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa Anak dari kelompok ke kelompok lain, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
9. Hukuman Mati
KUHP yang baru saja disahkan masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana dalam pasal 67 dan 98. Pasal tersebut dinilai kontroversi sebab Komnas HAM menilai hal tersebut bertentangan dengan pasal 28 (A) UUD 1945, pasal 9 UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik di mana hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right).
10. Kumpul Kebo
Aturan hukum tersebut termasuk dalam Pasal 412 dan 413. Kedua pasal tersebut masuk dalam delik aduan, di mana pada pasal 412 mengatur bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama diluar ikatan perkawinan, akan diancam pidana paling lama enam bulan. Berikut bunyi pasal tersebut:
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: