Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        China dan Vietnam Usik Kedaulatan Laut Indonesia, Farhan: Bakamla Perlu Diperkuat

        China dan Vietnam Usik Kedaulatan Laut Indonesia, Farhan: Bakamla Perlu Diperkuat Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Tingginya ancaman keamanan laut wilayah Indonesia jadi catatan refleksi akhir tahun 2022 bagi Pemerintah, terutama Badan Keamanan Laut (Bakamla). Tercatat, praktik Ilegal Fishing dan manuver ancaman kapal asing di Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia dianggap masih bebas mengusik keamanan laut Tanah Air.

        Lembaga independen Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mencatat dua negara, yaitu Vietnam dan Tiongkok terus mengusik keamanan laut Indonesia yang berdampak kepada jaminan keamanan nelayan Tanah Air. 

        Baca Juga: Pulau Tak Bertuan di Laut China Selatan Diklaim China, Filipina Makin Prihatin

        Vietnam diduga terus melakukan Ilegal Fishing di perairan Natuna Utara, sementara China melalui awaknya di China Coast Guard (CCG) terdeteksi bergerak keluar masuk wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara sepanjang tahun 2022.

        Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan menegaskan kewibawaan kedaulatan wilayah laut Indonesia harus dihormati negara lain. Manuver dua negara itu dinilai jadi bukti ancaman nyata secara militer dan ekonomi. Laut Indonesia memiliki nilai strategis tinggi dengan kandungan kekayaan alam besar.

        "Kondisi ini mengundang ancaman nyata pada kedaulatan dan hak Indonesia sepanjang 2022 dalam bentuk ancaman militer negara asing maupun ancaman ekonomi," kata Farhan dalam keterangan resminya, Rabu (28/12/2022).

        Farhan mengungkapkan China memiliki eksistensi ekonomi dan militer di negara tetangga, seperti Vanuatu, Timor Leste, dan Kamboja. Bahkan, negara itu disebut telah membangun infrastruktur pelabuhan komersial untuk berlabuhnya kapal militer.

        Selain itu, China juga disebut sering mengoperasikan kapal penelitian militer raksasa mereka dengan kemampuan mengendalikan satelit di perairan Indonesia dengan memanfaatkan Alur Laut Kepulauan Indonesia. 

        "Mereka pun mengerahkan Kapal Coast Guard untuk mengawal kapal penangkap ikan melakukan ilegal fishing di Laut Natuna Utara. Hal ini terungkap dari data real time dari IOJI dan sumber-sumber di TNI serta otoritas kelautan lain di Indonesia," ungkapnya.

        Farhan menilai situasi ini tidak hanya menjadi beban TNI, melainkan perlu adanya penguatan kewenangan Bakamla untuk penindakan. 

        Baca Juga: Kemenhub Pastikan Harga Tiket Kapal Laut Tidak Naik Selama Nataru 2023

        "TNI AL memang sudah melakukan tugas penjagaan kedaulatan wilayah RI dengan maksimal. Buktinya sepanjang 2022, KRI sering lakukan pencegatan terhadap kapal-kapal yang melanggar," katanya.

        Namun, TNI AL tidak bisa sendiri. Gugus Keamanan Laut TNI AL yang menyebar di Pangkalan TNI AL juga menunjukan kerja baik. Namun, pada hukum laut Internasional Modern, tindakan keras TNI AL berupa penembakan bisa menimbulkan insiden internasional bahkan memicu perang.

        Untuk itu, kata Farhan, Bakamla perlu diperkuat mulai dari kebutuhan anggaran, peremajaan senjata, dan kewenangan penindakan. 

        "Menjawab tantangan pengamanan wilayah daulat hukum di laut Indonesia, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif, maka harus memaksimalkan fungsi Badan Keamanan Laut sebagai Indonesian Coast Guard. Rentang tugas Bakamla yang luas dari pengawasan sampai rescue memungkinkan  Bakamla melakukan tugas pengamanan laut dengan tegas dan jelas tanpa pendekatan milteristik," tegasnya.

        Baca Juga: Lihat, Vietnam Makin Berani di Laut China Selatan, Peneliti Amerika: China Mau Dilawan

        Farhan juga menyayangkan Bakamla yang merupakan National Coast Guard mendapat dukungan yang sangat terbatas. Anggaran Bakamla pada APBN 2023 hanya cukup untuk patroli selama 40 hari saja dalam setahun. Akibatnya, Bakamla hanya bergerak jika ada potensi insiden atau laporan yang masuk dan ketersediaan senjata di kapal patroli Bakamla masih jauh dari kemampuan yang dibutuhkan.

        "Persaingan alokasi anggaran antara badan-badan negara di Indonesia memang hal yang biasa terjadi, namun sangat disayangkan ketika Bakamla tidak mendapat dukungan afirmatif untuk anggarannya. Padahal keamanan laut perlu ditegakkan," jelasnya.

        Data menunjukan ketika Kementrian Kelautan dan Perikanan pada 2014-2019 bekerja sama dengan TNI AL melakukan penegakan hukum di laut terhadap kapal ikan asing yang melakukan ilegal fishing, dengan jargon terkenal 'Tenggelamkan', meningkatkan produktivitas nelayan Indonesia.

        "Sekarang data menunjukan menurunnya penegakan hukum di laut terhadap kapal asing pelaku ilegal fishing, menyebabkan menurunnya produktivitas nelayan Indonesia di Natuna. Maka bangsa ini harus berpaling kepada Bakamla untuk menegakkan hukum di laut dengan dukungan anggaran yang memadai," jelasnya.

        Pemerintah, lanjut Farhan, harus berani dalam politik luar negeri bebas aktif, yaitu berkehendak menentukan dengan negara mana saja dalam kerja sama dan aktif menjaga kepentingan Indonesia. 

        "Saya melihat Indonesia harus maksimal memanfaatkan kekuatan ekonomi China khususnya untuk investasi dan kemampuan manufakturing untuk menggenjot sektor riil. Namun untuk kerja sama militer, pilihan kerja sama sebaiknya kepada Amerika Serikat dan sekutunya," ungkapnya.

        Selanjutnya, akses kepada mereka memberi tambahan kemampuan Indonesia dalam membangun pertahanan. Kerja sama tidak terbatas pada bidang militer saja, bahkan Bakamla pun bisa mendapatkan manfaat tersebut. Apalagi, Jepang sekarang menaikkan anggaran pertahanannya menjadi 2 persen dari GDP, yang artinya kenaikan 100 persen. 

        Baca Juga: Tarif Kapal Tanker Melejit, Kinerja Buana Lintas Lautan Ikut Terkerek

        "Maka, mereka butuh mitra pengamanan laut yang besar seperti Indonesia. Pilihan menarik lain yaitu meningkatkan kerja sama perikanan dengan Taiwan yang mampu menaikan produktivitas di laut Natuna dengan kepatuhan yang relatif baik juga," tegasnya.

        Sementara itu, Lembaga IOJI merilis dua kejahatan yang dilakukan Vietnam dan China, di antaranya:

        1. Dugaan Illegal Fishing KIA Vietnam di Laut Natuna Utara

        Berdasarkan Pasal 56 UNCLOS 1982, Indonesia memiliki hak berdaulat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati maupun non-hayati di ZEE Indonesia. Negara lain tidak dapat ikut menikmati sumber daya dimaksud tanpa izin dari Pemerintah Indonesia.

        Baca Juga: Masih Jadi Sumber Masalah, Laut China Selatan Harusnya Bikin Kesejahteraan

        Pemerintah Indonesia berwenang mengambil tindakan yang diperlukan untuk menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE Indonesia tanpa izin, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana. Pengambilan tindakan-tindakan di atas bahkan merupakan kewajiban utama (primary responsibility) Indonesia dalam rangka mencegah dan menindak kegiatan IUU-Fishing di ZEE Indonesia.

        Penggunaan pair trawl oleh KIA Vietnam berdampak pada kerusakan karang dan penurunan stok ikan di wilayah perairan Vietnam sehingga KIA-KIA Vietnam ini beralih ke kawasan Laut Cina Selatan. Intrusi KIA Vietnam dalam ZEE Indonesia telah mengganggu sumber penghidupan nelayan-nelayan lokal Natuna dengan berkurangnya hasil tangkapan.

        Alat tangkap pair trawl atau pukat hela dasar dua kapal atau pukat hela pertengahan dua kapal sendiri dikategorikan sebagai alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan dilarang penggunaannya di seluruh WPP NRI. 

        Instansi penegak hukum, dalam hal ini TNI AL, PSDKP-KKP, dan Bakamla perlu melakukan penindakan dan penegakan hukum yang tegas dan menimbulkan efek jera berdasarkan Undang-Undang Perikanan maupun Undang-Undang lain dalam hal ditemukan kejahatan lain yang menyertai.

        2. Ancaman Keamanan Laut oleh Kapal China Coast Guard (CCG)

        Beberapa kapal China Coast Guard terdeteksi bergerak keluar masuk wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara sepanjang tahun 2022. Meskipun telah diputuskan oleh the Permanent Court of Arbitration bahwa klaim nine-dash line (NDL) Pemerintah Tiongkok tidak berdasar dalam hukum internasional, Pemerintah Tiongkok sering mengoperasikan CCG di wilayah klaim NDL yang tidak berdasar ini, termasuk di ZEE Indonesia.

        Kapal CCG memang dapat menikmati kebebasan melintas (freedom of navigation) di ZEE Indonesia, namun memiliki serangkaian kewajiban, utamanya kewajiban menghormati (due regard obligation) hak berdaulat Indonesia di wilayah ini.

        Pada faktanya, kapal CCG 5403 tidak hanya sebatas melintas selama berada di ZEE Indonesia. Berdasarkan analisis IOJI terhadap pergerakan kapal CCG 5403 pada September 2022 dan rekaman lokasi Nelayan Natuna, kapal CCG 5403 diperkirakan berjarak kurang lebih 750 meter dari kapal nelayan tersebut. 

        Baca Juga: PLN Operasikan Kabel Laut Sumatera-Bangka

        Menurut pengakuan Nelayan Natuna yang merekam aktivitas CCG5403, kapal CCG 5403 juga sempat memotong haluan kapal nelayan. Tindakan kapal CCG ini jelas mengganggu bahkan membahayakan kapal nelayan Natuna.

        Dengan demikian, operasi Kapal CCG 5403 ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk nyata gangguan terhadap pemanfaatan hak berdaulat Indonesia atas sumber daya alam di ZEE Indonesia. Pemerintah Tiongkok, melalui operasi Kapal CCG 5403, dapat disimpulkan telah melakukan pelanggaran kewajiban due regard terhadap Pemerintah Indonesia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: