Pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat berpendapat kasus bentrok maut di PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), Morowali Utara, merupakan bukti Indonesia masih terjebak dengan hegemoni asing.
Ia membandingkan kasus Morowali dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari. Peristiwa Malari dipicu oleh persoalan ketidaksetaraan penanaman modal asing yang hanya menguntungkan kelompok tertentu serta beberapa isu lainnya.
Mahasiswa melakukan demonstrasi pada hari kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia pada 14 Januari. Namun, aksi demonstrasi berujung ricuh karena diduga adanya provokator. Peristiwa ini menyebabkan 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, dan 750 orang ditangkap.
Baca Juga: Ekonom: Bentrok Morowali Bukan Persoalan Mikro
Dalam kaitannya dengan bentrok Morowali, Achmad menyatakan baik Peristiwa Malari maupun Morowali sama-sama disebabkan oleh pertentangan masyarakat terhadap hegemoni asing di ekosistem bisnis Indonesia.
"Para demonstran itu menuntut keadilan, menuntut dihargai harkat dan martabat pribumi dalam hal investasi," ujar Achmad dalam video yang diunggah di kanal Youtube-nya, dikutip Kamis (19/1/2023).
Pada konteks Morowali, pemerintah membiarkan China datang membawa uang, teknologi, serta tenaga kerja. Oleh karena itu, lanjut Achmad, bisa dikatakan Morowali dipicu oleh kebencian kepada tenaga kerja asing (TKA) yang menjadi-jadi.
"Pekerja lokal memperjuangkan kesamaan hak dengan pekerja aisng, tapi kemudian tak seluruhnya terpenuhi. Akhirnya menimbulkan suatu kemarahan dan terjadi bentrok," kata dia.
Menurutnya, kasus seperti Malari dan Morowali akan kembali berulang dan meluas bila akar permasalahannya tak segera diatasi oleh pemerintah.
"Cerita persoalan kesetaraan dan keadilan di Malari itu juga terjadi di Morowali. Manakalanya akar kejadian ini sama, kejadian inni akan terus berulang," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti