Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Otoritas Diminta Membuat Kebijakan Fleksibel untuk Memperbesar CBP

        Otoritas Diminta Membuat Kebijakan Fleksibel untuk Memperbesar CBP Kredit Foto: Antara/Henry Purba
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Telah terjadi perubahan mendasar pada pengadaan dan penyaluran oleh Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Sejak pertengahan tahun 2019, stok beras di Bulog terus mengalami penurunan. Penurunan itu berlanjut hingga saat ini.

        Di sisi lain, pengadaan beras dari produksi dalam negeri dan penyaluran bersifat fluktuatif. Menurut pengamat pertanian Agus Saifullah, dinamika tersebut terjadi seiring perubahan mendasar terhadap instrumen kebijakan pemerintah di bidang perberasan.

        Pertama, sejak 2017 tidak ada lagi penyaluran captive market terhadap hasil pengadaan beras Bulog atau cadangan beras pemerintah (CBP) untuk program Raskin/Rastra. Ini menyebabkan kapasitas penyerapan beras Bulog dari produksi beras dalam negeri semakin sempit.

        "(Pengadaan) Beras bagaimanapun memiliki (konsekuensi) beban atas biaya pengadaan maupun penyimpanannya. Kalau tidak disalurkan, beban ini semakin bertambah. Stok beras yang bertambah, mutunya semakin turun seiring masa simpan," ujar Agus dalam Alinea Forum bertema "Memperkuat CBP dari Pengadaan Dalam Negeri", kemarin.

        Sebagai bukti, jelas Agus, mulai 2019 untuk pengadaan, penyaluran, dan stok terus mengalami penurunan. Namun, penyaluran masih lebih besar daripada pengadaan. Ini menyebabkan CBP terus menurun sampai saat ini. "Perubahan kebijakan sangat berpengaruh sekali terhadap kondisi perberasan yang dikelola oleh Bulog," urai Agus.

        Kedua, kata Agus, ada hubungan penting antara harga beras, harga gabah, dan harga pasar. Pada masa panen, jelas dia, perdagangan beras terjadi ke pasar umum dan Bulog sebagai CBP.

        Namun, Agus menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir harga gabah dan beras cenderung di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Ini membuat pengadaan Bulog rendah.

        Ada kecenderungan rasio HPP beras dengan HPP gabah kering panen (GKP) semakin menurun. Ini terlihat pada awal 2015 saat rasionya sekitar 2. Kemudian di 2021-2022 rasionya turun jadi 1,97, namun kembali naik menjadi 1,99. Artinya, kata Agus, margin untuk memproses gabah menjadi beras semakin mengecil untuk dimasukkan ke pengadaan Bulog.

        Menurut mantan Direktur SDM dan Umum Bulog ini, rasio yang cukup menarik mestinya minimal 2,02 ke atas. "Itu akan menarik bagi pedagang untuk memproses gabah yang dibeli dari petani untuk dimasukkan ke pengadaan Bulog. Karena memiliki margin yang cukup untuk biaya pengolahan, transpor, dan yang lainnya,” tuturnya.

        Ketiga, urai Agus, perlu penguatan CBP untuk jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, harga sangat penting dengan kondisi panen yang eksisting seperti saat ini. Jika ingin memperbesar penyerapan, perlu strategi harga. Harga penting dimodifikasi.

        "Artinya, saat musim panen ketika surplus musimannya cukup besar, pedagang didorong untuk melakukan perdagangan baik kepada pasar umum atau Bulog. Tapi jika margin jual ke Bulog kurang cukup, maka pedagang akan condong ke pasar umum," kata Agus.

        Sementara itu menurut Kepala Divisi Pengadaan Pangan Lain Bulog, Yayat Hidayat Fatahilah, hingga 15 April 2023, stok beras di Bulog hanya 280 ribu ton, jauh dari stok ideal sebesar 1,2 hingga 1,5 juta ton. Dari awal 2023 hingga kini, Bulog baru menyerap 222 ribu ton beras. Dari jumlah itu, 128 ribu ton beras di antaranya diserap pada setengah bulan April.

        Tahun ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menugaskan Bulog untuk menyerap 2,4 juta ton beras. Dari jumlah itu, 70% diharapkan diserap ketika musim panen raya Februari-Mei. Di akhir tahun, Bulog diharapkan memiliki stok akhir 1,2 juta ton beras.

        Di sisi lain, kata Yayat, Bulog mendapatkan penugasan untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras kepada 21,3 juta kelompok penerima manfaat. Masing-masing keluarga mendapatkan 10 kg beras per bulan di Maret hingga Mei. Presiden Joko Widodo berencana memperpanjang penyaluran bansos beras ini selama tiga bulan lagi: Juni-Agustus.

        Karena stok beras di Bulog terbatas, pada 24 Maret lalu Bapanas menugaskan Bulog mengimpor segera 500 ribu dari alokasi impor 2 juta ton beras hingga akhir tahun.

        "Karena kebutuhan yang mendesak, kuota 500.000 ton harus sehera masuk, yang targetnya hingga akhir Juni 2023. Kuota impor 2 juta ton ini dievaluasi seiring waktu. Kalau pemasukan dalam negeri menggembirakan, impor tidak dieksekusi semua," ujar Yayat.

        Yayat mengatakan, tren penyerapan Bulog meningkat akhir-akhir ini. Itu tecermin dari penyerapan harian yang bisa mencapai 8.000-9.000 ton beras. Akan tetapi, jelas Yayat, penyerapan tetap menghadapi tantangan akibat harga gabah dan beras di pasar yang tinggi.

        Kecenderungan harga gabah dan beras di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sudah terjadi sejak 2006. Harga, jelas Yayat, akan mendekati HPP menjelang puncak panen raya. "Di daerah yang produksinya banyak seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, ada yang harganya sama dengan HPP atau di bawah HPP sehingga kami bisa menyerap," kata Yayat.

        Harga gabah setelah memasuki panen raya Maret-April ini bergerak turun. Dari kisaran Rp5.800 per kilogram (kg) menjadi Rp5.200 per kg. Meskipun menurun, kata Yayat, harga ini masih di atas HPP untuk pembelian Bulog, yaitu Rp5.000 per kg. Ketika musim panen raya Februari-Mei lewat, harga gabah diperkirakan akan lebih tinggi lagi.

        Ia menduga, pedagang tidak memasok beras ke Bulog karena margin kurang menarik. Sebaliknya, margin menjual ke pasar umum lebih menjanjikan. Jika dugaan ini benar, kata Agus, pemerintah lewat Badan Pangan Nasional (Bapanas) perlu membuat kebijakan yang memberi peluang margin menjual beras ke Bulog kompetitif.

        Salah satu yang bisa dipertimbangkan akan fleksibilitas harga. Fleksibilitas harga ini memungkinkan Bulog membeli beras di atas HPP dengan persentase tertentu. Agar efektif, kata Agus, fleksibilitas harga mesti berlaku dalam waktu tertentu. Bisa satu-dua minggu.

        "Fleksibilitas harus jelas waktunya. Tidak seperti di masa lalu yang berlaku panjang dan tidak jelas periode waktunya. Intinya, dihadapkan pada kondisi yang serba tidak pasti otoritas kebijakan perlu membuat kebijakan yang fleksibel," kata Agus.

        Untuk penguatan CBP dalam jangka panjang, kata Agus, yang penting adalah faktor kelembagaan. Menurut Agus, kelembagaan saat ini sudah lebih baik sejak adanya Bapanas. Lewat institusi yang dibentuk lewat Perpres 61 Tahun 2021 itu, berbagai perencanaan operasional Bulog dirancang oleh dengan baik.

        Namun, kata Agus, yang terpenting adalah faktor penganggaran. Baik penganggaran saat pengadaan, penyaluran, pengeluaran saat CBP mengalami overstok dan pengeluaran saat CBP mengalami penurunan kualitas akibat masa simpan yang lebih lama.

        "Saya lihat instrumen-instrumen itu sebenarnya sudah ada, tinggal diimplementasikan dengan waktu yang tepat, yaitu pada September. Perencanaan perberasan pada September sebetulnya sudah selesai semua. Karena pengadaan relatif berkurang, penyaluran sudah terlihat, dan panen bisa diprediksi. Jika diperlukan impor, bisa ditentukan karena di akhir dan awal tahun produksi beras di kawasan Asean sedang berlangsung," ujar Agus.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Boyke P. Siregar
        Editor: Boyke P. Siregar

        Bagikan Artikel: