Sektor Manufaktur Makin Lesu, Indonesia Mulai Alami Gejala Dini Deindustrialisasi?
Sektor manufaktur menjadi salah satu kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Namun sayangnya, kontribusi pertumbuhan sektor tersebut menurun dalam tiga tahun terakhir.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur ke pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 sebesar 18,34%. Ini lebih rendah daripada kontribusi pada tahun 2021 yang sebesar 19,25% dan kontribusi pada tahun 2020 yang sebesar 19,88%. Hal ini kemudian mengindikasikan bahwa Indonesia mulai memasuki gejala dini deindustrialisasi.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menganalogikan industri manufaktur sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Untuk itu, agar Indonesia tumbuh lebih cepat, maka tulang punggung ini harus terus dijaga.
Baca Juga: Permintaan Baru Loyo, Industri Manufaktur Nasional Melorot
“Industri manufaktur itu buat perekonomian ibaratnya tulang punggung di dalam tubuh kita. Tulang punggung itu harus kita jaga tegak, sehingga kalau kita lari cepat itu kita maksimal. Tapi kalau bungkuk kita, lambat. Sekarang industri manufaktur kita bungkuk, ada masalah di tulang belakang,” kata Faisal, dikutip dari kanal Youtube Bisniscom pada Rabu (14/6/2023).
Ia menyebut negara-negara besar saat ini perekonomiannya bisa tumbuh dengan pesat karena adanya peralihan masif dari sektor agrikultur ke sektor manufaktur. Ia menjelaskan bahwa sejatinya sektor agrikultur memiliki produktivitas yang rendah sehingga tidak cukup cepat untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
“Kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi pernah 12%, waktu itu pertumbuhan industrinya naiknya juga 20%. Jadi tidak ada satu negara besar pun yang tidak mengalami pertumbuhan industrialisasi. Pada umumnya negara besar itu dari pertanian yang lama-lama turun produksinya dan digantikan oleh industri manufaktur. Karena sehebat-hebatnya pertanian, produktivitasnya rendah. Jadi kalau mengandalkan pada pertanian, peningkatan kesejahteraannya lambat, tidak mampu untuk mengimbangi pertumbuhan penduduknya, jadi harus manufaktur,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengklaim melemahnya sektor manufaktur akan berkorelasi pada perlambatan perekonomian. Hal ini terlihat dari persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin turun semenjak Krisis Moneter 1998.
“Industri manufaktur Itu kelihatan dengan sosoknya ada pabrik, pekerjanya formal semua, kemudian juga sumber penerimaan pajak terbesar, kemudian research and development yang juga jalan. Di Indonesia ini kecenderungannya turun yang menyebabkan ekonomi Indonesia terus tumbuh tapi tumbuhnya makin lama makin melambat. 8% zaman sebelum krisis sampai menjelang krisis itu 7%, setelah krisis itu 6%. Era Pak Jokowi pertama 5%, era Jokowi kedua cuma 3,5%, ini yang tidak disadari,” beber Faisal.
Dengan demikian, ia menyerukan urgensi kepada pemerintah untuk mengembangkan industri yang yang dapat bersaing secara nasional maupun internasional. Karena jika tidak, hal ini akan membuat Indonesia masuk ke dalam fase deselerasi pembangunan, bukan akselerasi pembangunan.
“Untuk mengembangkan industri butuh otak, butuh riset dan pengembangan, butuh inovasi karena daya saing di luar maupun di dalam negeri. Itu indikatornya konsisten semua Indonesia merosot. Pernah Indonesia peranan ekspor barang-barang berteknologi tinggi itu 12%, sekarang jadi 8%-an. Ini terjadi namanya deselerasi pembangunan, bukan akselerasi pembangunan. Itu yang enggak disadari tidak disadari oleh pemerintah,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: