Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Investor Harus Tau, Ini Kondisi dan Risiko yang Perlu Dicermati Sebelum Berinvestasi

        Investor Harus Tau, Ini Kondisi dan Risiko yang Perlu Dicermati Sebelum Berinvestasi Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengungkapkan bahwa ada beberapa risiko yang perlu dicermati investor di pasar domestik. Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan mengungkapkan bila risiko yang harus disadarkan yang pertama, dampak kebijakan bank sentral terhadap pertumbuhan ekonomi global dan kebijakan moneter negara berkembang. 

        Kedua, faktor geopolitik yang bisa memunculkan ketidakpastian pada berbagai kebijakan dan dampaknya terhadap sentimen investasi. 

        “Selain itu, jelang Pemilu, investasi dan belanja modal diperkirakan akan mengalami penurunan,” jelasnya, di Jakarta, Rabu (16/8/2023).  

        Ketiga, lanjut Katarina, harga komoditas yang diperkirakan akan mengalami normalisasi tentunya bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan defisit fiskal.

        Baca Juga: IHSG Bakal Terbang ke Level 7.700 Karena Pasar Saham Makin Atraktif, Ini Sektor yang Jadi Incaran

        Katarina menambahkan, angka inflasi Indonesia masih menunjukkan penurunan lebih lanjut pada bulan Juni 2023 hingga kembali ke kisaran sasaran di level 3+1%, lebih cepat dari perkiraan semula. Realisasi ini menjadi yang terendah sejak 14 bulan lalu.

        Kembalinya inflasi ke sasaran merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan saat ini dipandang BI cukup untuk membawa inflasi ke kisaran target inflasi 3±1% di 2023 dan 2.5±1% di 2024. 

        Terkait dengan pasar domestik, Katarina menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) diketahui tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan, atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75%, meski The Fed masih menaikkan suku bunga. 

        Keputusan tersebut disebabkan karena suku bunga saat ini dianggap cukup untuk menahan inflasi dan selisih suku bunga BI terhadap The Fed semakin menyempit.  

        Pengendalian nilai tukar Rupiah dilakukan oleh BI melalui instrumen lain, seperti intervensi valuta asing – dengan menggunakan cadangan devisa dan program operation twist.

        Sementara itu, tingginya surplus perdagangan sejak 2020 tidak serta merta mendorong peningkatan cadangan devisa. Kondisi ini menunjukkan keengganan eksportir untuk mengonversi dana hasil ekspor ke mata uang lokal karena tingkat suku bunga yang kurang atraktif. 

        “Regulasi yang mewajibkan penanaman Dana Hasil Ekspor untuk jumlah minimum ekspor USD250.000 selama tiga bulan diharapkan meningkatkan likuiditas dolar AS di dalam negeri dalam jumlah cukup besar dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah,” jelasnya. 

        Baca Juga: Inflasi RI Melandai, Sudah Boleh Tenang atau Harus Tetap Waspada?

        Katarina menambahkan, angka inflasi Indonesia masih menunjukkan penurunan lebih lanjut pada bulan Juni 2023 hingga kembali ke kisaran sasaran di level 3+1%, lebih cepat dari perkiraan semula. Realisasi ini menjadi yang terendah sejak 14 bulan lalu.

        "Kembalinya inflasi ke sasaran merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan saat ini dipandang BI cukup untuk membawa inflasi ke kisaran target inflasi 3±1% di 2023 dan 2.5±1% di 2024," tambahnya. 

        Menurutnya, indikator ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan aktivitas domestik. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, antara lain tingkat keyakinan konsumen yang terjaga baik, sehingga dapat mendorong minat konsumsi masyarakat.

        Selain itu, indikator investasi juga menunjukkan tren pemulihan dan BI mendukung penyaluran kredit dengan memotong RRR (reserve requirement ratio)  untuk memenuhi kebutuhan dana dari berbagai sektor usaha.  

        "Di paruh kedua tahun ini, belanja pemerintah yang lebih tinggi serta mulai bergulirnya dana dari anggaran pemilu dapat meningkatkan konsumsi domestik, yang diharapkan mendukung pertumbuhan PDB Indonesia," tutupnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: