Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Munculnya 'Kaum Rebahan' dan Melambatnya Ekonomi China, Peneliti Minta Indonesia Beri Respons Tepat

        Munculnya 'Kaum Rebahan' dan Melambatnya Ekonomi China, Peneliti Minta Indonesia Beri Respons Tepat Kredit Foto: Muhammad Syahrianto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hubungan antara China dan negara-negara di Asia Tenggara sepanjang 2023 banyak dipengaruhi ekonomi, politik, dan keamanan. Kondisi ini juga dirasakan Indonesia salah satunya terkait ekonomi raksasa Asia Timur itu yang memiliki dampak signifikan.

        Masalahnya, ekonomi China mengalami perlambatan pertumbuhan pascapandemi Covid-19, meski telah melalui pemulihan yang cukup "kuat". 

        Baca Juga: Soroti Kualitas Smelter China, DPR: Jangan-jangan Barang dan Suku Cadangnya...

        Peneliti Paramadina Public Policy Institute Universitas Paramadina Muhammad Iksan menyatakan permintaan dalam negeri yang melemah merupakan salah satu penyebab perlambatan tersebut.

        “Sebagai contoh, pada periode Januari hingga Februari 2023, pertumbuhan penjualan ritel hanya menyentuh 18,4 persen,” kata Iksan dalam diskusi akhir tahun Forum Sinologi Indonesia (FSI) berjudul “China, Asia Tenggara, dan Indonesia: Perkembangan 2023”, di Jakarta, Kamis (28/12/2023).

        Dosen Program Studi Manajemen Universitas Paramadina ini menjelaskan bahwa para analis memperkirakan pertumbuhan ritel di China akan tumbuh sebesar 21 persen pada periode tersebut.

        Oleh karena itu, Iksan mengungkapkan bahwa kondisi perlambatan ekonomi China harus direspons dengan tepat oleh Indonesia.

        “Salah satu yang perlu Indonesia lakukan adalah menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi dengan China dan dengan negara-negara lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat,” ujar Iksan.

        Perlambatan pertumbuhan ekonomi China juga merupakan kelanjutan dari kondisi di tahun-tahun sebelumnya, kata Ketua FSI Johanes Herlijanto.

        Ia memaparkan, kondisi tersebut muncul bersamaan dengan masalah-masalah terkait, salah satunya adalah krisis properti yang sudah mulai terlihat setidaknya sejak pertengahan 2022.  

        "Terdapat pula permasalahan lain, seperti pengangguran, menggelembungnya utang dalam negeri yang membebani pemerintah-pemerintah daerah di China, serta berkurangnya daya beli masyarakat," tutur Johanes.

        “Uniknya, masalah pengangguran tersebut muncul bersamaan dengan permasalahan sulitnya pabrik-pabrik memperoleh tenaga kerja usia produktif,” lanjut Johanes. 

        Menurut pemerhati China itu, bersamaan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, muncul pula kecenderungan sebagian anak-anak muda untuk menjadi "kaum rebahan" (tangpingzu). 

        "Mereka memilih untuk menjalani hidup santai atau bahkan menjadi ‘anak penuh waktu'," imbuh dia.

        Dalam pandangannya, fenomena yang muncul di sebagian kalangan anak muda China ini merupakan akibat dari kejenuhan mereka terhadap dunia kerja di China yang cenderung menerapkan waktu kerja yang panjang. “Sebagian anak-anak muda di China nampaknya mengalami kejenuhan dengan trend bekerja yang dikenal sebagai budaya kerja ‘996,’ yang mengharuskan mereka bekerja dari pukul 09.00 hingga pukul 21.00 selama enam hari dalam satu minggu,” tutur Johanes. 

        Ia pun berpandangan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi yang menerpa China di atas perlu menjadi bahan refleksi bagi negara-negara tersebut.  

        Baca Juga: Bukan AS atau China, Perekonomian Negara ini yang Diprediksi Melonjak di 2024

        “Sebagai langkah antisipasi, penting bagi Indonesia untuk memastikan tersedianya mitra-mitra dagang maupun sumber-sumber investasi alternatif,” tutur Johanes. 

        Ketegangan China dan Taiwan

        Ketua FSI menjelaskan permasalahan mengenai kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara juga tak kalah penting untuk diperhatikan.

        Baca Juga: Kritik Luhut soal TKA China, Jubir AMIN: Lapangan Pekerjaan Anak Bangsa Semakin Direbut!

        Di Asia Timur, ketegangan China dengan Taiwan yang mulai memanas sejak 2022 semakin menjadi kekhawatiran bagi kawasan.

        Pasalnya, kemungkinan China mengambil alih Taiwan, pulau yang dianggap sebagai miliknya, dilakukan dengan jalan kekerasan. 

        Menurutnya, kekhawatiran tersebut masih berkembang hingga di sepanjang tahun 2023. Salah satu penyebab bertahannya kekhawatiran itu karena dalam Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20 pada Oktober 2022, Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa meski China akan mengupayakan reunifikasi Taiwan secara damai, namun ia tidak berjanji untuk mengesampingkan penggunaan kekuatan. “Beliau menyatakan akan menggunakan cara apapun yang diperlukan untuk melaksanakan reunifikasi tersebut,” ungkap Johanes.

        Ia juga menyatakan bahwa kekhawatiran di atas makin merebak seiring dengan munculnya berbagai ketegangan yang terjadi di Selat Taiwan, yang terkait dengan peristiwa saling mengunjungi antara petinggi-petinggi Taiwan dan anggota-anggota parlemen Amerika Serikat. 

        “Ketegangan yang masih berlangsung di tahun 2023 itu tentu berpotensi merambat ke kawasan Asia Tenggara,” sambung pemerhati China itu.

        Agresifitas China di Laut China Selatan

        Di sepanjang 2023, kawasan Asia Tenggara juga dilanda ketegangan terkait sengketa antara China dan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan (LCS). 

        “Sepanjang tahun 2023, China tidak mengurangi tindakan agresifnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) milik beberapa negara-negara Asia Tenggara. Bahkan dalam kasus antara China dan Filipina, ketegangan semakin meningkat, sebagai akibat dari berbagai tindakan provokatif yang dilakukan oleh kapal-kapal penjaga pantai China, bersama dengan milisi maritim mereka, terhadap pihak Filipina,” kata Johanes. 

        Ia menyampaikan bahwa ketegangan bahkan berkembang semakin tajam lagi seiring dengan keputusan Filipina untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan dari luar kawasan, antara lain dengan kekuatan laut Amerika Serikat dan Australia, untuk melakukan patroli demi mencegah tindakan agresif China. 

        Pada sisi lain, tindakan China yang pada Agustus 2023 merilis sebuah peta yang kembali menegaskan garis putus-putus yang mengakui sebagian ZEE negara-negara Asia Tenggara sebagai miliknya juga sempat menimbulkan protes dari negara-negara Asia Tenggara. “Memang, pada Juli lalu, China dan negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati hadirnya sebuah panduan untuk mempercepat selesainya Pedoman Tata Prilaku (Code of Conduct) yang diharapkan dapat mencegah terjadinya ketegangan-ketegangan di wilayah LCS. Namun kesepakatan itu seolah dicemari dengan hadirnya peta RRC yang secara sepihak kembali mengakui sebagian ZEE dari beberapa negara-negara anggota ASEAN sebagai milik China, dan oleh tindakan provokatif kapal-kapal penjaga pantai China terhadap otoritas Filipina di perairan yang menjadi ZEE mereka,” tutur Johanes. 

        Ia juga mengingatkan bahwa selain menimbulkan gangguan kepada beberapa negara anggota ASEAN lain, kapal-kapal penjaga pantai China juga berlayar memasuki sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna. 

        “Di tahun 2023, hal ini terjadi sekitar satu tahun yang lalu, tepatnya di bulan Januari,”  tutur Johanes dalam paparannya.

        Dalam pandangannya, sikap China yang menganggap sebagian dari ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara sebagai milik Beijing, yang ditandai oleh salah satu garis putus-putus yang ditarik secara sepihak oleh negara itu, merupakan sikap yang patut disayangkan. Menurutnya, pengakuan wilayah secara sepihak oleh China itu perlu terus menerus disikapi dengan tegas oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lain. 

        Baca Juga: Dibeli Tiktok, Tokopedia Jatuh Kepelukan Raksasa Teknologi Asal China

        “Upaya bersama antara negara-negara ASEAN untuk mencegah China melakukan tindakan agresif dan provokatif di ZEE negara-negara ASEAN perlu dilakukan. Demikian juga dengan upaya penguatan kapasitas penegakan hukum, yang dapat pula dilakukan dengan menggalang kerja sama dengan kekuatan-kekuatan besar lain,” pungkas Johanes.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Muhammad Syahrianto
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: