Sektor keuangan memiliki peran yang krusial dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara.
Pasar keuangan yang semakin berkembang mampu mendukung peningkatan produktivitas sektor riil dan perekonomian secara keseluruhan melalui alokasi modal terhadap penggunaan produktif secara lebih efisien, pengelolaan dan alokasi risiko keuangan yang lebih baik, penyediaan likuiditas terhadap agen ekonomi, serta mendorong peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Sayangnya, sektor keuangan di Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan berbagai negara berkembang lainnya.
Di level ASEAN misalnya, kapitalisasi pasar modal Indonesia ‘hanya’ sebesar 56% dari PDB per 2023, tertinggal dari Malaysia yang mencapai 93%, Filipina 69%, Thailand 104% atau bahkan Singapura yang mencapai 119%.
Terlepas masih dangkalnya pendalaman pasar keuangan di Indonesia, beberapa indikator menunjukkan tren yang cukup positif dalam mendukung pertumbuhan sektor keuangan di Indonesia, salah satunya adalah pertumbuhan instrumen reksa dana.
Sejak tahun 2016, jumlah investor reksa dana menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat dengan rerata pertumbuhan tahunan mencapai sekitar 62% selama periode 2016-2023.
Lebih lanjut, nilai aktiva bersih reksa dana tumbuh sekitar 9% dan jumlah unit penyertaan beredar sekitar 11% per tahun secara rata-rata selama periode yang sama.
Menjaga pertumbuhan reksa dana sebagai salah satu instrumen keuangan dapat menjadi salah satu potensi akselerasi pendalaman sektor keuangan di Indonesia.
Namun, pertumbuhan reksa dana, terutama reksa dana saham sebagai instrumen investasi dihadapkan pada beberapa isu.
Pertama, terbatasnya ruang gerak investor institusi untuk mengalokasikan dana pada instrumen ekuitas, sehingga menyebabkan likuiditas juga relatif terbatas.
Hal ini disebabkan oleh kewajiban alokasi investasi lembaga-lembaga pengelola dana seperti para badan penyelenggara jaminan sosial, dana pensiun, dan asuransi pada instrumen Surat Berharga Negara sejumlah persentase tertentu (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.1/POJK.05/2016).
Idealnya, kebijakan alokasi aset menjadi keputusan investasi yang diambil oleh masing-masing lembaga sesuai dengan perhitungan aktuarianya.
Pada saat yang sama, adanya instrumen berbasis utang yang memiliki imbal hasil yang lebih pasti, seperti SRBI, juga memicu terjadinya crowding-out effect dari pasar saham.
Kedua, adanya isu keterbatasan likuiditas ini juga menghambat rotasi sektor berjalan dengan baik. Semestinya, arus dana akan berotasi pada sektor-sektor dengan fundamental baik dan valuasi menarik, dan proses ini akan berjalan terus menerus.
Dengan likuiditas yang terbatas, proses ini tidak berjalan dan menyebabkan sektor berkapitalisasi pasar besar saja, terutama perbankan, yang menjadi sasaran arus likuiditas secara sehat.
Hal ini tercermin dari ukuran “market breadth” yang menunjukkan bagaimana sebaran kinerja saham dalam suatu indeks.
Per awal Mei, dengan market breadth sebesar 18%, indeks saham Indonesia terhitung relatif sempit dan tertinggal dibandingkan indeks saham regional lain di Asia Pasifik, seperti indeks saham Filipina yang memiliki market breadth sebesar 21%, Hong Kong 27%, Singapura 29%, Taiwan 52% dan Tiongkok sebesar 55% (Goldman Sachs).
Ketiga, dari sudut pandang makro, kinerja perekonomian Indonesia terhitung cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5%. Namun, kondisi ini mencerminkan kinerja yang mengarah ke stability over growth.
Situasi ini tidak sepenuhnya sejalan dengan persepsi investor saham yang cenderung mencari pertumbuhan ketimbang stabilitas, yang terefleksi pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan laba emiten (EPS growth).
Ketiadaan percepatan pertumbuhan pada akhirnya terefleksi pada kinerja indeks saham (dalam hal ini IHSG) yang hanya tumbuh sekitar 3% secara rata-rata tahunan dalam 10 tahun terakhir.
Berhubungan dengan poin sebelumnya, selain aspek makro dan pasar keuangan secara umum, terdapat beberapa isu dari perspektif investor, terutama investor retail.
Isu keempat adalah adanya potensi kurangnya transparansi portofolio. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 7 / POJK.04 / 2022 Tentang Pendoman Perilaku Manajer Investasi membuat investor hanya bisa mengetahui 10 portofolio investasi terbesar dari sebuah produk reksa dana saham.
Sehingga, investor tidak dapat mengetahui keseluruhan kinerja dan strategi reksa dana saham yang dimiliki. Hal ini juga menimbulkan asymmetric information dan tidak simetrisnya asesmen risiko oleh investor.
Kelima, reksa dana saham memiliki waktu pembelian kembali atau lebih dikenal sebagai redemption (pencairan dana) yang relatif lebih lama ketimbang instrumen lain.
Reksa dana saham sering kali memerlukan waktu pencairan dana selama 3 hingga 7 hari kerja, sehingga tidak memberikan kepastian kapan dana dapat diterima oleh investor. Hal ini menjadi isu bagi para investor retail yang membutuhkan akses cepat pada uang dari reksa dana saham.
Sebagai perbandingan, pencairan dana saham hanya memakan dua hari kerja, dan reksa dana ETF (Exchange-Traded Fund) pun hanya dua hari setelah transaksi dilakukan.
Keenam, harga dan transaksi reksa dana saham tidak terjadi secara real-time. Harga reksa dana saham biasanya diperbaharui pada waktu akhir hari bursa, sebagaimana diatur dalam pasal mengenai “Harga Pembelian Unit Penyertaan”.
Secara detil, transaksi reksa dana saham diproses berdasarkan Nilai Aktiva Bersih yang dihitung pada akhir hari, sehingga dapat menimbulkan perbedaan antara harga eksekusi yang diinginkan dan harga eksekusi aktual. Dampaknya, investor tidak dapat bereaksi secara instan terhadap perubahan pasar.
Secara keseluruhan, reksa dana, termasuk reksa dana saham, memiliki potensi berkembang yang cukup luas di Indonesia dan dapat mengakselerasi pendalaman pasar keuangan.
Namun, perkembangan instrumen ini akan bergantung pada appetite investor. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah reksa dana maupun reksa dana saham saat ini berada dalam kondisi ideal untuk menarik investor dan mendorong pendalaman pasar keuangan? Karena secara umum investor menimbang dalam konteks relatif dan akan memilih pasar yang lebih likuid, lebih ramah investor, dan lebih menjanjikan.
Kedepannya, pasar keuangan di Indonesia perlu menyelesaikan beberapa isu tersebut agar secara relatif lebih menarik ketimbang pasar keuangan dan instrumen investasi yang ada di negara atau pasar lain.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: