Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        KNTI Desak Pemerintah Tuntaskan Upaya Berantas Mafia Ikan

        Warta Ekonomi -

        WE Online, Jakarta - Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir, yang sebagian berprofesi sebagai nelayan tradisional, dinilai masih banyak yang didera kemiskinan karena ulah mafia perikanan di Tanah Air.

        Untuk itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah segera memperbaiki koordinasi antarlembaga pemerintahan untuk memberantas mafia perikanan yang dinilai masih merajalela di berbagai daerah, kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik, Selasa (5/4/2015).

        "Tuntaskan upaya memberantas mafia perikanan," kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik dan memaparkan, praktik perbudakan, perdagangan manusia, hingga korupsi di sektor perikanan berawal dari amburadulnya mekanisme perizinan sektor perikanan.

        Selain itu, ia juga menyoroti kejadian meninggalnya pegawai KKP Yoseph Sairlela yang merupakan salah satu saksi kasus dugaan perbudakan di Benjina, Maluku. "Tewasnya Yoseph, saksi kunci kasus Benjina, tidak serta merta memutus rantai pengungkapan praktek perbudakan dalam dunia maritim Indonesia," ujar Riza.

        Apalagi, menurut dia, temuan dugaan perbudakan nelayan dan awak buah kapal (ABK) disinyalir terjadi pula dengan kasus yang serupa di tempat lain. Sebelumnya, KNTI menyatakan praktik mafia perikanan sangat kuat yang terindikasi dengan mencuatnya ke permukaan sejumlah kasus hukum terkait sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.

        "KNTI yakin bahwa praktik mafia perikanan sangat kuat. Oleh karena itu aparat penegak hukum sebaiknya memprioritaskan pengungkapan pelaku utama mafia perikanan," kata Ketum KNTI M Riza Damanik.

        Menurut dia, pengungkapan pelaku utama mafia perikanan harus dilakukan kepada pihak-pihak baik yang bersembunyi di balik perusahaan nasional/asing, birokrasi, maupun institusi penegakan hukum.

        KNTI menilai dari dua kasus "illegal fishing teranyar" yaitu putusan ringan kapal raksasa (> 4.000 GT/gross tonnage) pengangkut ikan berbendera Panama MV Hai Fa, dan terungkapnya praktik perbudakan di Benjina, menjelaskan proses penegakan hukum di laut Indonesia kurun lima bulan terakhir hanya sedikit memberikan efek jera.

        Bahkan, lanjutnya, hal itu juga dinilai belum berhasil menakut-nakuti dari mereka yang belum terungkap secara tuntas, seperti terjadi di Benjina.

        Terkait dengan Benjina, KNTI juga meminta aparat dan lembaga pemerintah mendalami laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Untuk membantu proses penuntasan kasus Benjina, kami menyarankan kepada pemerintah mendalami laporan BPK," kata Ketua KNTI M Riza Damanik.

        Ia memaparkan, berdasarkan Laporan BPK 2010 diketahui dua hal. Pertama, pemeriksaan atas database perizinan pada Direktorat Pelayanan Usaha Perikanan periode 19 Mei 2009 sampai dengan akhir September 2009, terdapat 98 Izin Usaha Penangkapan yang menggunakan tenaga kerja asing melebihi ketentuan maksimum sebesar 50 persen dari keseluruhan awak kapal pada tahun pertama, termasuk di dalamnya PT PBR (perusahaan yang terkait dengan kasus Benjina).

        Kedua, lanjut Riza, meski ada pelanggaran terkait ABK asing, KKP tetap mengeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) kepada PBR.

        Ketum KNTI menyarankan setelah mendalami laporan BPK, kemudian diteruskan dengan mendalami keterangan dari Direktur Pelayanan Usaha Perikanan, Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan, dan Dirjen Perikanan Tangkap di lingkungan KKP.

        Di tempat terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, dugaan perbudakan tenaga kerja asing di Benjina, Maluku, merupakan fenomena puncak gunung es karena diduga terjadi pula di beberapa tempat lainnya.

        "Kasus perbudakan yang terjadi di Benjina hanyalah 'topping' (puncak) dari sebuah gunung es yang sangat tinggi," kata Susi Pudjiastuti pada Pidato Kedaulatan di KKP, Jakarta, Selasa (21/4).

        Menurut dia, apa yang terjadi dengan warga negara Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja di Benjina adalah hal yang sama yang terjadi pada nelayan dan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Ia mengungkapkan, setelah marak kasus Benjina di media, muncul pula laporan dari para orang tua yang mengaku kehilangan anaknya yang sedang melakukan KKN atau praktik lapangan di atas kapal.

        "Kita harus pastikan dan menjaga generasi muda yang kita didik dan kita kader ini tidak jatuh kepada sindikat perbudakan yang menghalalkan berbagai cara untuk perikanan," katanya.

        Kesejahteraan Menurun Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana mengatakan, kesejahteraan nelayan tradisional di berbagai daerah dinilai menurun setelah diberlakukannya kebijakan moratorium izin kapal eks-asing penangkap ikan.

        "Pasca-ditetapkannya moratorium, terjadi penurunan kapal asing pelaku pencurian ikan dan jumlah komoditas ekspor di sisi lain industri pengolahan dalam negeri meningkat. Tetapi nilai tukar nelayan sebagai tolok ukur kemampuan ekonomi suatu nelayan lebih buruk dalam lima tahun terakhir," kata Suhana.

        Menurut dia, pemerintah pada saat ini dalam menetapkan suatu kebijakan dinilai terkesan tidak ada antisipasi atas dampak yang terjadi terkait kebijakan tersebut. Kondisi ekonomi saat ini, lanjutnya, produksi nelayan saat ini berada titik impas tanpa ada keuntungan dan hal itu juga dapat merebak pengangguran karena nelayan tidak dapat melaut.

        Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk memperkuat organisasi dan koperasi nelayan, karena nanti nikmat suplai ikan yang tinggi dapat dinikmati oleh negara Indonesia serta memperbaiki tata kelola kelautan dan perikanan. Tata kelola itu, ujar Suhana, harus berdasarkan data yang valid mengenai stok ikan yang akan menentukan antara lain jumlah ikan yang dapat ditangkap serta kapal yang diperbolehkan beroperasi.

        Sebelumnya, KKP memutuskan untuk memperpanjang moratorium perizinan kapal eks-asing sebagai upaya untuk memperkuat pemberantasan pencurian ikan di wilayah perairan Republik Indonesia. "Moratorium untuk kapal eks-asing berbobot 30 gross tonnage (GT) ke atas ditambah enam bulan lagi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja dengan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Jakarta, Kamis (16/4).

        Menteri Susi sebelumnya telah memutuskan untuk melakukan moratorium perizinan kapal eks-asing dengan bobot sebesar 30 GT ke atas selama enam bulan sejak medio November 2014. Moratorium itu, ujar dia, dilakukan agar Tim Satuan Tugas Pemberantasan Pencurian Ikan KKP juga dapat melakukan analisis dan evakuasi terhadap kapal eks-asing di Indonesia.

        Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi itu, ditemukan terdapat sebanyak 887 kapal eks-asing yang didiskualifikasi karena telah melakukan beragam pelanggaran. Selain, itu, Menteri Susi menyatakan bahwa hasil dari analisis dan evaluasi tersebut juga telah dilaporkan kepada lembaga hukum internasional, Interpol.

        Dengan adanya sinergi dan kerja sama baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional, maka diharapkan mafia perikanan di Indonesia juga dapat diberantas sepenuhnya sehingga dapat juga meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional yang ada di Tanah Air. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Achmad Fauzi

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: