Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Naik atau Turun, Prediksi Standard Chartered soal Jalan Ekonomi Indonesia

Naik atau Turun, Prediksi Standard Chartered soal Jalan Ekonomi Indonesia Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Standard Chartered merilis laporan terbarunya terkait dengan jalan ekonomi global termasuk Indonesia dalam laporan Global Focus Economic Outlook Q2-2024. Terdapat sejumlah hal yang menjadi perhatian mulai dari investasi sampai efek dari kontestasi politik.

Senior Economist, Standard Chartered Bank Indonesia menjelaskan Aldian Taloputra menjelaskan bahwa pihaknya memperkirakan akan terjadinya penurunan dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB)  Indonesia di tahun 2024 menjadi5,1% dari sebelumnya 5,2%. Hal ini mencerminkan pemasukan dari pemilu yang lebih kecil dari perkiraan sebelumnya terhadap ekonomi dari Indonesia.

Baca Juga: Belanja APBN Mampu Pertahankan Pertumbuhan Ekonomi Sumut

"Kami masih memperkirakan pertumbuhan di semester pertama yang kuat, namun hasil pemilu bulan Februari cukup meyakinkan sehingga tidak diperlukan adanya Pemilu putaran kedua.Hal ini akan menurunkan dorongan konsumsi. Meskipun kemenangan telak Presiden terpilih Prabowo menghilangkan ketidakpastian politik, peningkatan investasi yang kuat diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat," ungkapnya dilansir Selasa (30/4).

Meski begitu, hal ini dapat berubah dengan cepat mengingat adanya kontestasi pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di Indonesia. Di sisi lain, inflasi pangan juga harus menjadi perhatian dari pemegang kebijakan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dari Indonesia.

"Transisi pemerintahan, termasuk pembentukan kabinet, mungkin belum selesai hingga akhir tahun 2024; sementara pemilihan pemerintah daerah akan diadakan pada bulan November. Inflasi pangan yang tinggi juga dapat mengurangi belanja konsumen, terutama di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah. Meskipun demikian,kami yakin perekonomian Indonesia masih berada dalam siklus ekspansi, sebagaimana tercermin dalam pertumbuhan pinjaman yang kuat (11,3% secara year on year di bulan Februari dibandingkan 10,4% di bulan Desember) dan membaiknya pinjaman luar negeri swasta non-bank. Belanja pemerintah juga meningkat pesat sebesar 30,1%secara year on year pada bulan Februari,didorong oleh belanja pemilu," ungkapnya.

Adapun laporan tersebut memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global tahun ini sebesar 3,1%, atau tidak berubah dari tahun 2023. Standard Chartered juga memperkirakan pertumbuhan sebesar 3,2% pada tahun 2025, yang merupakan peningkatan dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,1%.

Laporan itu juga menunjukkan bagaimana Asia akan tetap menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan perekonomian global. Sementara itu, Afrika dan Kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Afghanistan dan Pakistan (MENAP) diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada tahun 2024 dibandingkan pada tahun 2023. Namun demikian, pemilihan umum di sejumlah negara pada tahun ini mungkin akan mempengaruhi aktivitas investasi untuk sementara waktu, dan keputusan mengenai waktu dan kecepatan penurunan suku bunga akan tetap menjadi tantangan mengingat masih adanya kekhawatiran terhadap inflasi.

Bank-bank sentral besar kemungkinan akan memulai siklus penurunan suku bunganya dalam beberapa bulan mendatang, sehingga memberi ruang pelonggaran kebijakan oleh bank sentral di Asia pada kuartal ketiga. Meskipun inflasi telah melambat selama setahun terakhir, tekanan harga dalam negeri masih menjadi kekhawatiran mengingat kuatnya pasar tenaga kerja serta ketidakselarasan akselerasi penyesuaian upah atau gaji pekerja dengan perubahan kondisi ekonomi di banyak negara.

Sementara itu, China terus mengalami disinflasi ekspor, namun harga barang secara global masih tetap rentan terhadap gangguan rantai pasokan secara berkala. Meningkatnya proteksi perdagangan dapat menambah biaya. Dampak disinflasi akibat turunnya harga pangan dan energi mungkin akan berkurang sebelum perkiraan inflasi yang lebih rendah dapat dipertahankan. Secara khusus, meningkatnya permintaan minyak global dan rendahnya pasokan non-OPEC dapat mendorong harga yang lebih tinggi bahkan jika pengurangan produksi OPEC tidak berlanjut hingga semester kedua.

Baca Juga: Inkowapi Dukung Ekonomi Sehat Melalui Program Makan Siang dan Susu Gratis

Meskipun target inflasi belum tercapai di beberapa negara, bank-bank sentral juga khawatir bahwa mempertahankan suku bunga terlalu tinggi dalam jangka waktu lama akan berisiko merusak aktivitas perekonomian. Kenaikan suku bunga riil telah melemahkan ketersediaan kredit dan meningkatkan tingkat tunggakan utang, serta dampak pengetatan moneter sebelumnya kemungkinan masih akan terus berlanjut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: