Pro Kontra Soal Perpol 10/2025, Boni Hargens Ajak Bangun Argumentasi tanpa Logical Fallacies
Kredit Foto: Ist
Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 memicu debat hukum dalam beberapa waktu terakhir. Inti persoalannya adalah apakah peraturan ini selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang reformasi pengawasan Polri.
Di tengah silang pendapat antara tokoh-tokoh seperti Mahfud MD yang menilai Perpol bertentangan dengan MK dan Boni Hargens yang melihatnya sebagai bentuk implementasi operasional, kualitas argumentasi menjadi kunci.
Analis politik dan hukum Boni Hargens mengkritik argumentasi yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang menentang Perpol, termasuk yang diwakili oleh Komite Reformasi Polri. Menurutnya, sejumlah logical fallacy atau kesesatan berpikir melemahkan fondasi rasional dan hukum dari penolakan tersebut.
Logical fallacy adalah cacat dalam penalaran yang membuat sebuah argumen menjadi tidak valid, meski mungkin terdengar persuasif. Dalam diskursus hukum, keberadaan fallacy berbahaya karena dapat mengaburkan fakta, memanipulasi opini, dan menjauhkan publik dari substansi masalah.
Berikut adalah lima kesalahan logika utama yang diidentifikasi dalam argumentasi penentang Perpol 10/2025:
1. Ad Hominem: Menyerang Pelaku, Mengabaikan Substansi
Kesalahan ini terjadi ketika kritik dialihkan dari isu menjadi serangan terhadap karakter atau motivasi pihak pembuat kebijakan. Alih-alih menguji pasal per pasal, argumen terjebak pada pernyataan seperti, "Peraturan ini dibuat hanya untuk mempertahankan status quo internal Polri." Pendekatan ini mengabaikan prinsip dasar analisis hukum bahwa sebuah produk hukum harus dinilai berdasarkan isi dan kesesuaiannya dengan hierarki norma, bukan berdasarkan siapa perancangnya. Akibatnya, diskusi yang seharusnya teknis dan substantif bergeser menjadi tuduhan yang bersifat personal, menciptakan atmosfer debat yang tidak sehat dan kontraproduktif.
2. Straw Man: Menyederhanakan Lawan untuk Mudah Dikalahkan
Straw man fallacy adalah tindakan mendistorsi atau melebih-lebihkan argumen lawan agar lebih mudah diserang. Dalam konteks ini, Perpol sering digambarkan secara keliru sebagai "sama sekali mengabaikan" atau "secara total bertentangan" dengan putusan MK. Padahal, dalam kenyataannya, Perpol mungkin mengadopsi sebagian prinsip putusan MK dengan interpretasi dan mekanisme operasional tertentu. Dengan menyajikan versi yang disederhanakan dan ekstrem dari Perpol, penentangnya menciptakan "boneka" yang mudah dirobohkan, tetapi tidak merepresentasikan objek sebenarnya yang kompleks dan bernuansa. Hal ini menghalangi diskusi mendalam tentang poin-poin spesifik yang selaras dan yang mungkin bertentangan.
3. False Dilemma: Hitam vs. Putih yang Menyesatkan
Argumentasi ini menyajikan pilihan semu yang ekstrem: "Perpol harus dibatalkan seluruhnya atau berarti mengkhianati MK." Dikotomi ini mengabaikan berbagai opsi tengah yang lebih realistis dan konstruktif dalam praktik hukum, seperti revisi parsial, judicial review atas pasal tertentu, atau penerbitan petunjuk pelaksanaan untuk menyelaraskan interpretasi. Hukum konstitusional jarang bersifat mutlak hitam-putih; ia penuh dengan ruang penafsiran dan harmonisasi. Dengan menyempitkan pilihan hanya menjadi dua opsi radikal, argumen ini menutup pintu dialog dan solusi kompromistis yang mungkin lebih efektif dalam menjembatani tujuan reformasi dan kepatuhan hukum.
4. Red Herring: Mengalihkan Pembicaraan ke Isu Lain
Red herring adalah taktik mengalihkan perhatian dari isu utama dengan membawa topik lain yang dramatis namun kurang relevan. Ketika pertanyaan intinya adalah "Apakah Pasal X Perpol 10/2025 bertentangan dengan Amar Putusan Y MK?", diskusi sering dialihkan ke sejarah pelanggaran HAM di masa lalu, masalah korupsi secara umum, atau kebutuhan reformasi institusional yang luas. Meski isu-isu tersebut penting, penggunaannya untuk menghindari analisis spesifik terhadap teks Perpol justru mengaburkan fokus. Diskusi hukum memerlukan kedisiplinan untuk tetap pada pertanyaan teknis yang sedang diuji, agar dapat menghasilkan evaluasi yang jernih dan solutif.
5. Appeal to Emotion: Mengandalkan Sentimen Daripada Logika
Kesalahan ini memanfaatkan emosi publik—seperti ketakutan, kemarahan, atau kekhawatiran—sebagai pengganti argumentasi berbasis bukti dan logika. Narasi dibangun dengan menggambarkan Perpol sebagai ancaman besar bagi demokrasi atau pengawasan masyarakat, tanpa disertai penjelasan hukum yang rinci tentang mekanisme ancaman tersebut. Hukum harus berdiri di atas analisis rasional, bukan gelombang emosi. Argumentasi yang kuat seharusnya mampu membuktikan ketidaksesuaian suatu peraturan melalui perbandingan teks dan logika hukum, bukan hanya melalui retorika yang membangkitkan sentiment.
Perbandingan pendekatan antara, misalnya, Mahfud MD yang mewakili sikap penolakan dan Boni Hargens yang menganalisis implementasi, menunjukkan dampak dari metodologi berargumentasi.
Kritik yang dibangun dengan menghindari logical fallacies dan berfokus pada analisis tekstual yang mendalam cenderung lebih kontributif bagi pemahaman publik dan pencarian solusi.
Ini bukan berarti keprihatinan terhadap pentingnya pengawasan eksternal dan reformasi Polri tidak valid. Justru, karena isunya sangat penting, argumentasi yang dikedepankan haruslah kuat, logis, dan terhindar dari kesesatan berpikir.
Dengan memperbaiki kualitas diskursus, semua pihak dapat berkontribusi pada perdebatan hukum yang lebih substansial, mendidik, dan pada akhirnya, mendorong terciptanya kebijakan yang lebih baik serta reformasi institusi yang tepat sasaran. Publik pun berhak mendapatkan analisis yang jernih, bukan sekadar retorika yang emosional dan menyesatkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: