Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Hilirisasi Mineral Jadi Cermin Arah Indonesia di Mata Dunia

        Hilirisasi Mineral Jadi Cermin Arah Indonesia di Mata Dunia Kredit Foto: Ist
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan hilirisasi mineral Indonesia memasuki fase baru pada penghujung 2025. Tidak lagi semata diperdebatkan sebagai agenda peningkatan nilai tambah dan investasi, hilirisasi kini menjadi isu reputasi global yang memengaruhi persepsi dunia terhadap arah kebijakan ekonomi dan geopolitik Indonesia. Dalam situasi fragmentasi rantai pasok global, setiap keputusan terkait mineral kritis dinilai sebagai sinyal strategis, bukan sekadar kebijakan domestik.

        Director of Corporate & Public Affairs firma konsultan komunikasi FleishmanHillard, Muhammad Zulkifli, menyatakan bahwa ketegangan geopolitik, transisi energi, dan kebangkitan kebijakan industri nasional di berbagai negara telah mengubah cara dunia memandang sumber daya mineral.

        “Mineral kritis seperti nikel, tembaga, bauksit akan dan telah menjadi aset strategis. Dalam situasi ini, setiap keputusan Indonesia dibaca bukan hanya sebagai kebijakan domestik, melainkan sebagai sinyal geopolitik,” tuturnya di Jakarta Selas (23/12/2025).

        Baca Juga: Pemerintah Pacu Investasi Hilirisasi, Target Rp3.464,5 Triliun hingga 2029

        Menurut Zulkifli, di titik inilah hilirisasi bertransformasi dari isu ekonomi menjadi isu reputasi negara. Kebijakan larangan ekspor, kewajiban pengolahan di dalam negeri, hingga renegosiasi izin usaha tidak lagi dinilai hanya dari dampak ekonominya, tetapi dari konsistensi pesan dan kepastian jangka panjang yang ditawarkan Indonesia kepada mitra global.

        “Apakah Indonesia menawarkan kepastian jangka panjang bagi mitra global, atau justru memperkuat citra sebagai negara yang sulit diprediksi? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin sering muncul dalam forum diplomatik.”

        Ia menegaskan, tantangan utama Indonesia bukan terletak pada substansi kebijakan hilirisasi. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga menjalankan industrial policy untuk melindungi kepentingan strategis nasionalnya.

        “Perbedaannya terletak pada bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan. Negara-negara tersebut secara agresif membingkai kebijakan industrinya sebagai bagian dari keamanan nasional, transisi energi, dan stabilitas jangka panjang. Indonesia, sebaliknya, kerap terjebak dalam komunikasi yang fragmentaris dan reaktif.”

        Baca Juga: Hilirisasi dan Industrialisasi Jadi Pendorong Transformasi Ekonomi Indonesia

        Zulkifli menilai, komunikasi yang terlalu teknokratis dan tidak terintegrasi membuka ruang bagi narasi eksternal untuk mendominasi persepsi global. Akibatnya, hilirisasi kerap dipersepsikan sebagai proteksionisme, resource nationalism, atau alat tawar politik.

        “Di tingkat domestik, narasi nasionalisme ekonomi mungkin efektif. Namun di mata investor global dan mitra strategis, narasi tersebut perlu diterjemahkan ke dalam bahasa kepastian, tata kelola, dan peluang kolaborasi. Tanpa itu, kebijakan yang secara ekonomi rasional bisa berubah menjadi beban reputasi,” imbuhnya.

        Persoalan reputasi ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan dinamika lokal di wilayah tambang. Konflik lahan, isu lingkungan, serta ketimpangan manfaat ekonomi di daerah kerap menjadi sorotan media internasional. Dalam ekosistem informasi global yang bergerak cepat, satu insiden lokal dapat berkembang menjadi simbol persoalan struktural.

        “Tanpa strategi komunikasi publik yang matang, negara akan selalu berada dalam posisi defensif, selalu menjelaskan setelah krisis terjadi, bukan membentuk persepsi sejak awal.”

        Baca Juga: Ketahanan Energi dan Peran Generasi Muda Jadi Fokus Rembuk Energi & Hilirisasi 2025

        Menjelang 2026, Zulkifli menyarankan Indonesia mengadopsi pendekatan public affairs yang lebih strategis dalam mengelola kebijakan hilirisasi. Ia menekankan perlunya satu narasi induk lintas kementerian dan BUMN, komunikasi berbasis data dan roadmap yang jelas, serta integrasi diplomasi ekonomi dengan komunikasi domestik.

        “Pertama, negara perlu satu narasi induk yang konsisten lintas kementerian dan BUMN, bahwa hilirisasi adalah ajakan kolaborasi jangka panjang, bukan sekadar instrumen kontrol. Kedua, komunikasi harus berbasis data dan roadmap yang jelas. Ketiga, diplomasi ekonomi perlu berjalan seiring dengan komunikasi domestik.”

        Zulkifli menegaskan, hilirisasi mineral akan tetap menjadi pilar kebijakan Indonesia ke depan. Namun, keberhasilannya tidak hanya diukur dari realisasi investasi atau kapasitas industri, melainkan dari kemampuan negara mengelola persepsi global secara strategis.

        “Pertanyaannya bukan apakah kebijakan ini benar atau salah, melainkan apakah Indonesia mampu mengelola persepsi globalnya dengan cerdas. Hilirisasi saat ini menjadi cermin bagaimana Indonesia ingin dilihat dunia,” tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Annisa Nurfitri

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: