WE Online, Jakarta - Kekhawatiran yang menghantui bahwa krisis keuangan tahun 1990 mungkin akan terjadi kembali dan penurunan data kunci ekonomi makro yang terjadi baru-baru ini?seperti terjadinya inflasi dan pertumbuhan GDP telah mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memotong tarif suku bunga sebanyak dua kali selama 2016.
Meski demikian, Chief Market Analyst Forextime Jameel Ahmad mengatakan suku bunga acuan di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain dan dengan inflasi yang diharapkan tidak akan melonjak dalam waktu dekat ini serta pertumbuhaan GDP yang cenderung lebih rendah terdapat peluang untuk diberlakukannya pelonggaran moneter oleh BI.
"Namun kenyataannya, perekonomian Indonesia masih memiliki tingkat potensi ekonomi yang tinggi dan jika kita melihat perkembangan situasi baru-baru ini, kita akan melihat optimisme yang sangat tinggi terhadap perekonomian," katanya di Jakarta, Senin (7/3/2016).
GDP
Sepanjang tahun 2010 hingga 2014 pertumbuhan ekonomi turun hingga di bawah lima persen dan kembali naik hingga 6,4 persen. Di tahun 2012, Indonesia bahkan berada di peringkat kedua negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di Asia setelah China.
"Walau demikian, di tahun 2015 pertumbuhan GDP tahunan Indonesia berada pada angka 4,8 persen, mendekati angka yang lebih rendah di tahun 2009 saat menyentuh 4,6 persen. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat dan stagnannya perekonomian Jepang merupakan faktor-faktor utama penyebab penurunan GDP Indonesia karena mereka (China dan Jepang) adalah mitra dagang utama yang membeli hampir seperempat dari total ekspor Indonesia. Penurunan dramatis pada harga komoditas juga menambah tekanan ekonomi bagi Indonesia," ujarnya.
Jameel mengatakan tarif suku bunga yang lebih rendah dapat memicu lebih banyak pinjaman dan investasi, menggiatkan pertumbuhan lokal, namun jika pertumbuhan China dan Jepang tidak kembali bergerak normal maka tidak banyak yang dapat dihasilkan dari taktik pelonggaran moneter tersebut.
"Para pembuat keputusan harus mempertimbangakan bahwa nilai rupiah yang pada dasarnya lebih lemah atau kekhawatiran akan pasar komoditas yang turun dapat melemahkan daya beli dan jika konsumen tidak dapat membelanjakan uang, mereka tidak akan terdorong untuk meminjam dan ini berarti tarif yang telah dikurangi perlu untuk dimaksimalkan oleh perusahaan-perusahaan besar," paparnya.
CPI
Membandingkan tingkat inflasi tahun 2015 yang berada pada 3,4 persen dengan 2014 pada 8,4 persen, terangnya, terlihat jelas adanya penurunan tajam yang menambah kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seandainya penurunan harga lebih tajam lagi maka tren penurunan inflasi akan berarti juga penurunan keuntungan bagi perusahaan lokal dan berkurangnya persediaan uang tunai dalam perekonomian.
"Saya pikir, indikasi inflasi yang lebih rendah dapat menandakan bahwa konsumen sedang berusaha mengimpor barang dari luar negeri karena anjloknya rupiah Indonesia dan inflasi terus bergerak turun. Hal ini membuka kesempatan lebih jauh bagi BI untuk terus memotong suku bunga acuan di tahun 2016," tegasnya.
Utang Publik
Ia menyampaikan gambaran yang cukup sehat ditunjukkan oleh tingkat utang publik Indonesia yang sebelumnya berada di 27 persen pada tahun 2015 dan belum merangkak melebihi 28 persen sejak 2009. Posisi fiskal yang baik ini menandakan bahwa kredit Indonesia di pasar internasional tidak berisiko yang mana menyingkirkan adanya kerentanan ekonomi besar.
"Krisis gagal bayar nasional merupakan alasan utama kelemahan perekonomian Uni Eropa dan merupakan poin penting yang menunjukkan bahwa utang publik Indonesia masih dapat dikendalikan, terutama saat jatuhnya GDP. Dilaporkan bahwa tingkat utang publik lebih rendah terhadap ekonomi negara tetangga, Malaysia, dapat mendorong BI untuk mengurangi tingkat suku bunga karena akan mengindikasikan bahwa konsumen bermain risiko meminjam uang dari institusi tanpa gagal melakukan pembayaran kembali," jelasnya.
Kurs Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang USD-IDR menunjukkan tren yang menurun dikarenakan nilai rupiah jatuh terhadap USD sejak 2009 saat 1 USD bernilai 10.389 IDR. Pada 2015 satu USD dijual pada 13.400 IDR. Adanya mata uang yang lebih lemah berarti harga ekspor yang kompetitif, namun sekaligus merupakan kerugian relatif daya beli.
Pengangguran
Tingkat pengangguran turun hingga 5,9 persen di tahun 2014, sementara pada tahun 2009 berada di 7,9 persen. Ini merupakan tren yang menjanjikan bagi perekonomian lokal karena menandakan perusahaan-perusahaan berkembang dan berinvestasi di tenaga kerja baru. Tingkat pengangguran yang rendah merupakan hal yang sangat penting bagi perekonomian manapun.
"Akan tetapi, tingkat pengangguran yang lebih rendah dapat pula mendorong BI untuk mengurangi tingkat suku bunga dengan harapan bisnis akan meminjam uang dan terus berinvestasi pada tenaga kerja," tuturnya.
Cadangan Devisa
Ia menyebutkan?bahwa sekilas pandangan pada tren cadangan devisa menunjukkan peningkatan dari 66,1 miliar dolar AS di tahun 2009 menjadi 111,9 miliar dolar AS di tahun 2014 dan 105,9 miliar dolar AS di tahun 2015. Dianggap sebagai cadangan yang cukup nyaman untuk menghadapi guncangan eksternal dan kelemahan-kelemahan ekonomi lokal, cadangan devisa Indonesia sehat kecuali jika ada krisis yang tak terduga.
"Pendek kata, terdapat pendapat yang mendukung dan menolak pelonggaran lebih lanjut yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pengangguran, cadangan devisa, dan hutang publik merupakan faktor pendukung; sementara pertumbuhan GDP, CPI, dan nilai tukar mata uang asing merupakan faktor yang semakin beresiko. Titik baliknya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi China dan stagnannya perekonomian Jepang sehingga sebagai imbangan, harapan saya adalah Bank Indonesia akan mengurangi tingkat suku bunga, bahkan di tahun 2016, kemungkinan seperti yang telah dilakukan Reserve Bank of India di tahun 2015," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: