Panelis dalam Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia (CIFP) 2016, Meidyatama Suryodiningrat mengatakan, insiden di perairan Natuna pada Juni lalu menjadi titik pengakuan bahwa Indonesia memiliki masalah dengan Tiongkok.
"Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna sangat baik, artinya kita tahu bahwa kita punya masalah dengan China dan akhirnya kita terbuka mengakui ada masalah dengan China menyangkut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," kata jurnalis senior yang juga Direktur Utama LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat di Jakarta, Sabtu (17/9/2016).
Dia mengatakan hal itu dalam diskusi bertema "Potential Blind Spots, Stress Points and Perception Gap in Indonesian Foreign Policy" di Kota Kasablanka Jakarta.
Insiden di perairan Natuna pada 17 Juni 2016 melibatkan kapal TNI AL dan kapal patroli Tiongkok yang menghalangi penegakan hukum terhadap kapal nelayan negara itu yang tertangkap menangkap ikan secara ilegal di teritori Indonesia.
Hal itu telah membuka mata pemerintah bahwa ada masalah dengan negara Tirai Bambu tersebut. Apalagi kejadian itu adalah yang ketiga kalinya di Natuna. Sebelumnya terjadi pada Maret 2016 dan kedua pada akhir Mei 2016.
"Artinya setelah kita mengakui ada masalah, kita tahu apa langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi China," kata jurnalis senior yang biasa dipanggil Dimas itu.
Menurut Dimas, Tiongkok adalah negara yang masih belajar menjadi negara adikuasa sehingga akan membuat banyak pendekatan dan langkah-langkah yang salah di kawasan Asia.
"Kita harus siap menghadapi China, apa yang mau dia lakukan. Dia adalah negara besar seperti Amerika, kalau dia maunya begitu ya itu yang dia lakukan," kata Dimas.
"Tapi China masih belajar menjadi negara adikuasa yang akan membuat banyak kesalahan dan akhirnya memutuskan langkah-langka yang mungkin keliru," kata dia pula.
Selain Tiongkok, Dimas juga menyebut pendekatan pemerintah Indonesia pada Papua dan integrasi ASEAN merupakan dua hal yang harus dicermati dalam menjalankan politik luar negerinya.
Hadir pula sebagai panelis dalam diskusi tersebut adalah Profesor Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan, Profesor Tirta Mursitama dari Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) dan Dr Adriana Elisabeth dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Terkait insiden Natuna ketiga, Presiden Jokowi menggelar rapat kabinet di atas Kapal Perang Indonesia (KRI) Imam Bonjol bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (saat itu) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Polri (ketika itu) Jenderal Badrodin Haiti dan tiga kepala staf TNI.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, rapat tersebut menunjukan sikap tegas Presiden Jokowi kepada Tiongkok bahwa perairan Natuna adalah teritorial sah milik Indonesia. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement