Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Waspada, Indonesia akan Menghadapi Ancaman Jebakan Pangan

Waspada, Indonesia akan Menghadapi Ancaman Jebakan Pangan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Bogor -

Guru Besar IPB, Made Astawan mengingatkan Indonesia menghadapi ancaman jebakan pangan jika tidak diantisipasi karena sejak 2005 mayoritas penduduknya memiliki tingkat konsumsi yang sangat tinggi terhadap beras dan sagu dibanding negara lain.

"Jika negara hanya bertumpu pada dua pangan pokok ini saja, apalagi bahan tersenut bersifat impor maka Indonesia akan menghadapi jebakan pangan," kata Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB itu di Bogor, Minggu (16/10/2016).

Made menjelaskan tingkat konsumsi beras Indonesia rata-rata 120 kg per kapita per tahun. Jumlah tersebut sangat tinggi dibandingkan Jepang dan Malaysia hanya 60 kg per kapita per tahun.

"Jika diukur dari jumlah penduduk, idealnya 90 kg per kapita per tahun, ini sudah normal. Kalau 120 kg per kapita per tahun itu masih tinggi," katanya.

Ia mencontohkan Jepang yang konsumsi per kapitanya hanya 60 kg, dan masa tanam padi hanya setahun sekali tetapi masih bisa ekspor beras, sementara Indonesia, tingkat konsumsi tinggi, dan perlu impor.

"Jepang berhasil mengembangkan diversifikasi pangan sehingga stok pangan mereka tetap aman," katanya.

Memperingati Hari Pangan Se-Dunia ini, Prof Made mengingatkan telah terjadi ketimpangan pada pola konsumsi pangan Indonesia, yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat utama, yakni beras.

Padahal sejatinya Indonesia memiliki keragaman yang tinggi dalam penyediaan bahan pangan sumber karbohidrat (lebih dari 30 jenis pangan), dengan komposisi gizi yang tidak kalah dengan beras dan sagu.

"Perlu pemberdayaan pangan lokal dalam rangka ketahanan pangan dan Indonesia," katanya.

Prof Made mengusulkan tiga strategi yang dapat dilakukan pemerintah dalam menghadapi jebakan pangan tersebut dan mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap pangan lokal yakni pertama, perlu evaluasi terhadap kebijakan pemerintah berupa pemberian raskin kepada rakyat yang membutuhkan, tanpa mempertimbangkan budaya dan pola pangan kedaerahan yang telah ada.

Solusi kedua yakni, perlu menghidupkan kembali optimalisasi budidaya pangan lokal. Dan ketiga, perlu program diversifikasi produk berbasis pangan lokal.

Landasan hukum tentang diversifikasi konsumsi pangan lokal sudah sangat jelas, yakni Undang-Undang Nomor 8/2012 tentang Pangan, PP Nomor 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, PP Nomor 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Juga Perpres Nomor 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis sumberdaya lokal, dan Permentan Nomor 43/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

"Diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dapat dimulai dari teknologi penepungan. Seperti makanan tradisional masyarakat Jawa Barat, Cireng, kini dibuat dengan beragam model dan juga rasa, ini contoh sederhana yang bisa dilakukan," katanya.

Ia menjelaskan penepungan dibanding bahan segar memiliki keunggulan seperti lebih awet, mudah disimpan, mudah dalam transportasi, dan penjualan, serta lenih mudah dan praktis dalam aplikasinya pada pembuatan bebergai produk seperti mi, beras analog, aneka kue dan lainnya, "Dengan bentuk tepung, maka orientasi pengguna pangan lokal akan menjadi lenih luas, dengan konsep dari pertanian ke meja makan menjadi dari pertanian ke pasar sehingga petani termotivasi menghidupkan perekonomian daerah," katanya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: