Ditetapkannya Ketua DPR RI, Setyo Novanto, oleh KPK atas dugaan keterlibatannya dalam mega korupsi E-KTP telah menjadi pusat perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini telah menambah deretan pejabat publik, baik dari kalangan parlemen, pemerintahan, maupun lembaga peradilan, yang terjerat kasus korupsi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sementara itu di saat yang bersamaan, bangsa Indonesia tengah gencar melakukan pembangunan ekonomi di segala bidang, tidak hanya untuk meningkatkan daya saing nasional, tetapi juga untuk mewujudkan agenda pembangunan lainnya.
Selain agenda percepatan pembangunan infrastruktur, Indonesia juga harus berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalan di bidang akses dan kualitas pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, industrialisasi, inovasi, dan penguasaan teknologi. Komitmen pemberantasan korupsi di segala lini mutlak diperlukan agar agenda pembangunan ekonomi nasional lebih mudah dan cepat untuk diwujudkan.
Korupsi menjadi kendala terbesar pembangunan daya saing nasional terlihat dalam peringkat daya saing nasional menurut World Economic Forum (WEF). Meskipun peringkat daya saing nasional 2017 naik 5 level ke urutan 36, peringkat tersebut dikhawatirkan sulit melonjak apabila masih tingginya kasus korupsi di Indonesia. Menurut survei dari WEF, korupsi masih merupakan indikator utama penghambat daya saing nasional dengan nilai 13,8, disusul peringkat kedua berupa rumitnya perizinan di Indonesia dengan nilai 11,1.
Meskipun upaya pencegahan maupun penindakan kasus korupsi telah gencar dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian, ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka baru kasus E-KTP dan ditetapkannya sejumlah kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi, baik melalui operasi tangkap tangan (OTT) maupun pengembangan kasus di sepanjang tahun 2017, semakin menyadarkan kita semua bahwa pekerjaan memberantas korupsi di Tanah Air masih jauh dari selesai.
Dampak Negatif Korupsi
Banyak sekali penelitian empiris, baik yang menggunakan data global maupun perbandingan antarnegara, menunjukkan dampak negatif praktik-praktik korupsi terhadap kinerja ekonomi dan pembangunan. Misalnya, Kaufmann (2015) menghitung kerugian penyuapan (bribery) atas birokrasi di seluruh dunia mencapai US$1.5—2 triliun atau 2% dari total gross domestic product (GDP) dunia. Dipastikan kerugian ekonomi akibat korupsi jauh lebih besar lagi karena penyuapan adalah salah satu praktik dari perilaku korupsi. Dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis oleh Mo (2001) dengan menggunakan data 58 negara dalam periode 1960 hingga 1985. Dalam penelitiannya, ditemukan hubungan negatif antara peningkatan indeks persepsi korupsi dengan pertumbuhan ekonomi. Setiap satu level indeks persepsi korupsi suatu negara akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,54%. Selain dampak langsung korupsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dampak tidak langsung juga akan meningkatkan instabilitas politik serta menurunkan investasi dan kualitas sumber daya manusia suatu negara.
Selain itu, banyak sekali penelitian akademis dan empiris yang menunjukkan dampak negatif korupsi terhadap indikator ekonomi lainnya, seperti kapasitas produksi, tingkat konsumsi, angka pengangguran, investasi domestik, belanja pemerintah, aktivitas ekspor, dan pasar modal. Tingginya indeks persepsi korupsi suatu negara juga berdampak pada melebarnya kesenjangan di suatu negara. Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al. (2000) dengan menggunakan data-data di negara Asia, Amerika Latin, dan negara anggota OECD menghasilkan kesimpulan bahwa meningkatnya indeks persepsi korupsi akan memperlebar kesenjangan dan ketimpangan.
Chetwynd et al. (2003) melakukan meta-analisis untuk mengidentifikasi dampak negatif korupsi terhadap kinerja ekonomi suatu negara. Mereka menemukan, paling tidak, tingginya korupsi akan menurunkan tidak kurang 20 indikator kinerja ekonomi. Tingginya praktik korupsi berdampak negatif dari mulai terhambatnya penurunan angka kemiskinan, menurunkan kualitas infrastuktur publik, menghancurkan kualitas dan akses kesehatan serta pendidikan masyarakat, dan menurunkan kualitas belanja sosial.
Hubungan negatif antara tingginya praktik korupsi dengan rendahnya penerimaan negara dari sektor perpajakan juga ditunjukkan oleh International Monetary Fund (IMF). Dalam laporan IMF (2016), tingginya praktik korupsi akan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan maraknya sejumlah praktik penyimpangan oleh petugas pajak di lapangan. Hal ini membuat negara akan kehilangan potensi penerimaan sektor perpajakan dalam jumlah besar. Hal ini pada akhirnya tidak hanya membuat belanja publik kurang optimal, tetapi juga rawan untuk dikorupsi lagi oleh pejabat yang korup. Hal tersebut menciptakan lingkaran setan yang mengakibatkan mesin ekonomi berjalan lambat dan membuat indikator kesejahteraan rakyat semakin memburuk. Dengan demikian, perbaikan tata kelola pemerintahan (good governance) dan tata kelola kelembagaan menjadi keniscayaan untuk dapat memotong dampak buruk korupsi terhadap ekonomi suatu negara.
Tidak sedikit penelitian yang menunjukkan upaya serius pemberantasan korupsi di suatu negara berdampak positif terhadap banyak indikator kinerja perekonomian. Misalnya, Ugur dan Dasgupta (2011) di dalam penelitan empiris, mereka membuktikan terdapat hubungan positif antara pemberantasan korupsi dengan pertumbuhan ekonomi. Setiap adanya perbaikan satu unit dalam indeks persepsi korupsi akan meningkatkan 0,59—0,86 pertumbuhan ekonomi suatu negara. Besar kecilnya dampak akan sangat dipengaruhi oleh kondisi di tiap-tiap negara. Perbaikan indeks tata kelola terhadap kinerja tidak hanya terjadi di level negara saja, tetapi di tingkat korporasi juga mengalami hal yang sama.
Penelitian di berbagai negara dan kawasan menunjukkan perusahaan yang menerapkan praktik-praktik good governance akan memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi dari para investor, secara rata-rata memiliki return on equity (ROE) di atas rata-rata perusahaan yang memiliki skor governance rendah, memiliki economic value added (EVA) yang lebih baik dibandingkan dengan yang kurang atau tidak governance, dan rata-rata kinerja keuangan yang baik.
What’s Next?
Kembali ke persoalan ditetapkan tersangka Setya Novanto terkait dengan dugaan keterlibatannya dalam kasus E-KTP yang telah membuat kecewa banyak kalangan. Seharusnya, pejabat negara bisa menjadi panutan, tetapi sebaliknya, justru mencederai kepercayaan publik. Sel ain itu, sejumlah kepala daerah, baik di tingkat I maupun tingkat II, juga tidak kunjung jera melakukan praktik korupsi dan terbukti dengan ditetapkannya sejumlah tersangka kepala daerah terkait kasus dan dugaan korupsi. Namun, tentunya upaya pemberantasan korupsi melalui penerapaan good governance, penguatan etika dan integritas, penegakan hukum, maupun pencegahan harus terus dilakukan.
Program edukasi dan sosialisasi untuk menjelaskan dampak negatif korupsi terhadap ekonomi, kesejahteraan, dan pelayanan publik harus terus digalakkan sebagai langkah pencegahan. Hal ini tidak hanya perlu dilakukan kepada penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah, tapi perlu juga dilakukan kepada para politisi, dunia usaha, dan masyarakat luas. Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi menjadi langkah kolektif dan tersinergi satu dengan yang lain sebagai prasyarat utama pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, adil, dan merata.
Pemberantasan korupsi tidak hanya penting bagi kinerja perekonomian dan daya saing suatu negara. Di tingkat mikro, yaitu perusahaan, penerapan praktik-praktik good governance juga akan berdampak positif, tidak hanya pada kinerja keuangan, tetapi juga keberlanjutan usaha perusahaan. Selain itu, seiring dengan kompetisi di tingkat regional dan global, standar penerapan good governance akan menjadi salah satu prasyarat utama untuk bisa bersaing dan menjalin kerja sama strategis dengan mitra di luar negeri.
Perusahaan multinasional yang biasanya telah memiliki standar good governance, hanya akan mencari mitra bisnis yang juga telah menerapkan prinsip good governance di perusahaannya. Oleh sebab itu, komitmen menerapkan good governance di tingkat perusahaan tidak hanya berkontribusi positif terhadap pemberantasan korupsi secara nasional, tetapi juga memperbesar peluang dan potensi kerja sama strategis dengan perusahaan mitra dan akses ke pasar internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: