Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Salah Hitung, Penerima SKL BLBI Tak Bisa Disalahkan

Salah Hitung, Penerima SKL BLBI Tak Bisa Disalahkan Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Idonesia (BLBI) yang sekarang kembali mencuat, dinilai tak seharusnya kembali menyasar subjek penerima SKL. Selain terkait kepastian hukum, pemerintahan saat ini sendiri mengaku masih konsisten dengan keputusan yang diambil pemerintahan sebelumnya. 

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menuturkan, dalam pandangan ekonomi kalaupun sebenarnya ada kesalahan taksir di awal, tak dibenarkan juga jika saat ini kembali menyengketakan hal tersebut kepada pengutang, dalam hal ini obligor. Terlebih lagi, penaksir dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemberi utang sudah menyatakan aset tersebut mampu melunasi utangnya. 

Jika dikaitkan dengan kasus SKL BLBI ini, BDNI lanjutnya, sejatinya tak perlu kembali diseret sebab di awal dia sudah menyelesaikan tanggung jawabnya menyerahkan aset. Pada intinya, kata Heri, ketika aset telah diserahkan dan surat lunas telah diberikan, masalah utang-piutang ini seharusnya selesai. 

"Jika ternyata nilainya kurang, padahal surat lunasnya sudah dikasih. Ini kan yang salah di awalnya, kenapa kok belakangan baru mencuat lagi?" ujarnya.

Ia pun menyayangkan dalam kasus SKL ini ada pandangan bahwa pemerintah seolah-olah kecolongan kemudian dianggap BDNI-nya tidak transparan karena menjual asetnya di bawah nilai taksiran pada waktu itu. 

"Ketika ternyata ketika beberapa tahun kemudian itu dijual dan loh kok cuma segini, enggak sesuai jumlah utang yang diberikan saat itu. Ini kan kesalahannya berada di pihak yang pemberi utangan itu. Kenapa dia enggak dilihat lagi yang benar. Harga asetnya segala macam," tuturnya. 

Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rahmatawarta menjelaskan, ada sejumlah skema penyelesaian kewajiban obligor BLBI yakni Akta Pengakuan Utang (APU), MRNIA (Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement), dan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). 

"Untuk yang MSAA itu sudah lunas. Artinya, obligor sudah menyerahkan aset dengan nilai setara atau lebih dari kewajibannya. Sedangkan MRNIA dan APU, obligor belum menyelesaikan kewajibannya dan diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)," tuturnya.

Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, DJKN, Kementerian Keuangan Suparyanto menambahkan, ada inpres No. 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham ini yang memang secara prosedural sudah dilakukan.

"Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, dimana untuk SKL-nya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA, dimana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan," ucapnya.

Hanya saja, lanjut Isa, masalah yang terjadi saat ini adalah aset yang digunakan pelunasan kewajiban, ternyata setelah dinilai saat ini tak sebesar penilaian dulu. 

"Problem kita adalah di hulu, artinya di BPPN, waktu kita terima ya datanya seperti itu. Secara umum masalahnya seperti itu. Aset yang diserahkan segini, entah bagaimana dulu pengecekannya. Kemudian diserahterimakan ke kita, aset tidak segitu,” tuturnya. 

Khusus untuk BDNI, DJKN sendiri mencatat asetnya seperti yang disampaikan oleh BPPN. "Itu sudah dibayar aset dan cash yang sesuai dengan kewajibannya. Makanya, terbit SKL. Pada prinsipnya, SKL sudah diterbitkan maka itu sesuai dengan syarat dan ketentuan BPPN menerbitkan SKL," imbuhnya. 

Lalu, jika saat ini terjadi selisih sementara pada waktu itu sudah clear dan sudah diaudit, kemungkinan ada indikasi kurang bayar yang sekarang diselidiki oleh penegak hukum. "Namun, kita di pemerintah konsisten dengan kebijakan yang sudah diambil bahwa obligor pada waktu itu kooperatif dan menyelesaikan kewajibannya," ucapnya. 

Ia mengakui, saat ini pihaknya memang masih mengelola aset peninggalan sejarah di tahun 1998 yang tidak sempurna. "Tapi, jangan diarahkan bahwa kenapa tidak selesai-selesai. Memang ada aset yang sulit. Tapi, itu jumlahnya hanya sekian persen dari aset negara yang kita kelola," tandasnya. 

Untuk diketahui, aset eks BPPN dan PPA yang dikelola DJKN saat ini meliputi aset kredit, properti, inventaris, rekening nostro maupun saham. Rekening nostro atau nostro account adalah rekening yang dibuka atau dimiliki oleh suatu bank pada bank korespondennya (depository correspondent) di luar negeri. Rekening tersebut biasanya dalam mata uang yang berlaku di negara bank tersebut.

Terkait aset kredit, kini tinggal 22 obligor yang masih ditangani oleh PUPN. Pasalnya, sudah ada tiga obligor yang menyelesaikan kewajibannya, yaitu, Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putih Rai sebagai pemilik Bank Tamar dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura.

"Sisanya, 22 obligor masih di PUPN dan KPKNL. Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun dari 22 obligor yang masih kita urus," katanya.

Terkait aset tagihan, Suparyanto menyebutkan pihaknya tengah mencari terobosan selain penyelesaian konvensional melalui lelang. Salah satunya adalah memanfaatkan aset yang dimiliki para obligor APU untuk dikembangkan sehingga menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban para obligor.

Menurutnya, langkah seperti ini bisa menjadi penyelesaian yang baik lantaran kewajiban obligor selesai, pulau pun tetap menjadi milik negara dan kita kembangkan untuk menghasilan pendapatan. Sementara untuk aset berupa inventaris maupun saham diupayakan untuk dijual untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara.

Namun, khusus untuk aset tetap, terobosan telah diambil. Pelelangan aset tak lagi jadi prioritas. Aset tersebut justru disewakan baik langsung maupun melalui kerja sama. Hal ini terkait perubahan paradigma bahwa aset yang ada akan dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jumlah aset tetap ini sendiri berjumlah sekitar 4.000 unit. Aset ini meliputi properti baik rumah maupun gedung kantor, sawah, eks perkebunan kelapa sawit, hingga resort.

Hingga kini, pengembalian atas aset eks BPPN dan eks PPA telah mencapai Rp7,7 triliun. Rinciannya, pada 2007, pengembalian aset mencapai Rp228,5 miliar. Di tahun berikutnya, pengembalian melonjak menjadi Rp1,55 triliun. Lalu, kembali turun menjadi Rp273,79 miliar pada 2009.

Selanjutnya, pengembaliannya sebesar Rp561,29 miliar pada 2010, Rp1,04 triliun pada 2011, Rp1,13 triliun pada 2012, dan Rp1,44 triliun pada 2013. Pengembalian pada 2014 hingga 2016 secara berturut-turut adalah Rp539,99 miliar, Rp363,2 miliar, dan Rp550,23 miliar.

"Tiap tahun akan semakin turun seiring jumlah aset yang semakin sedikit dan perlu adanya perubahan paradigma untuk mendapatkan pendapatan negara dari aset dan bukan menjualnya," kata Suparyanto.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: