Masyarakat dan turis di Bali dapat menikmati listrik dengan minim pemadaman, berbeda dengan daerah lain di Sumatera, Kalimantan atau wilayah timur Indonesia yang cukup sering terjadi pemadaman akibat krisis pasokan energi tersebut.
"Untuk saat ini, pasokan listrik di Bali relatif aman. Masyarakat dan industri wisata Pulau Dewata ini relatif stabil karena beban puncak pemakaian listrik di di sini hanya 852 MW," kata I Nyoman Suwardjoni Astawa, GM PLN Distribusi Bali.
Pasokan listrik yang diproduksi tiga pembangkit yang ada di Pulau Dewata mencapai 940 MW, kemudian pasokan aliran dari Jawa sebesar 320 MW, sehingga kapasitas PLN Bali saat ini 1.260 MW. "Jadi masih aman," tambah dia.
Namun, dengan pertumbuhan permintaan energi listrik di Bali yang menjadi destinasi wisata dunia rata-rata sekitar delapan persen, maka tahun 2020, akan muncul ancaman krisis energi listrik.
Pada tahun 2017, lanjut GM PLN itu, pertumbuhan kebutuhan energi listrik di Bali mengalami penurunan sampai negatif. Tapi, seandainya tahun 2018 permintaan listrik di Pulau Dewata tumbuh hanya lima persen saja maka tahun 2020 akan terjadi krisis pasokan listrik terburuk di destinasi wisata dunia ini, akan mengalami seringnya pemadaman listrik. Hal ini akan memukul industri pariwisata.
Untuk mengantisipasi hal yang terburuk pada Bali, destinasi wisata yang menjadi andalan Indonesia dalam menarik turis mancanegara dan devisa, pemerintah dan PLN sudah punya solusi yakni Jawa Bali Crossing (JBC).
JBC adalah pembangunan transmisi 500KV dari Paiton ke Watudodol kemudian menyeberang ke Bali. Transmisi berlanjut sampai di Antosari. Akan dibangun menara listrik 500 KV mulai dari Segara Rupek hingga ke GITET (gabungan induk tegangan ekstra tinggi) di Antosari.
"Jawa Bali Crossing ini sudah masuk rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) tahun 2017-2020. Jika terealisasi maka kapasitas listrik di Bali bisa mencapai 2.600 MW," tambah Suwardjoni Astawa.
Ia menambahkan ada beberapa keuntungan dan manfaat dari proyek JBC. Pertama, pemerintah akan membangun tenaga listrik 35.000 MW sebagian besar pembangkitnya di Jawa. Karena membangun pembangkit listrik yang besar maka harga listrik yang dialirkan ke Pulau Dewata akan lebih murah dibandingkan dengan pembangunan energi listrik di Bali tapi kapasitasnya kecil sehingga harganya lebih mahal.
Kedua, pembangkit listrik yang akan dibangun di Jawa merupakan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) menggunakan batu bara, sehingga dampak negatif polusinya tidak muncul di Bali. "Bali tetap aman pasokan listriknya ditambah bebas dari polusi," kata Dewanto, Deputi Manager PLN bidang Energi Baru Terbarukan (EBT).
Sebagai destinasi wisata dunia, di Bali sebaiknya dibangun pembangkit listrik energi baru terbarukan, seperti energi surya, energi air, atau angin (bayu). "Dengan proyek JBC maka Bali memiliki fondasi atau tulang punggung energi listrik di mana memungkinkan tumbuh pembangkit listrik dari energi terbarukan," tambah Dewanto.
Namun proyek JBC itu mendapat banyak penolakan dari berbagai lembaga umat Hindu seperti PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) se Bali, bersama Majelis Madya Desa Pakraman se-Bali, serta kelian desa pakraman di sekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), termasuk Gubernur Bali Made Mangku Pastika serta Kadin Bali. Proyek JBC kena "setrum" di Bali.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali meminta pemerintah pusat tidak memaksakan pembangunan proyek Jawa Bali Crossing (JBC) karena rencana proyek tersebut sangat dekat dengan Pura Segara Rupek, sehingga masyarakat memahaminya dapat mengganggu kesucian pura tersebut.
"JBC telah mendapatkan penolakan dari tokoh-tokoh agama, adat, hingga pemerintah daerah, karena itu kami minta agar pemeritah pusat tidak memaksakan supaya ada JBC di Bali," kata Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana.
Menurut dia, Pura Segara Rupek sangat penting untuk dipelihara dan disucikan. "Ingatlah Bali ini ada karena `taksu` dari pura, kalau pura sudah diganggu, berarti akan mengganggu masyarakat Bali," katanya.
GM PLN Distribusi Bali Suwardjoni Astawa mengakui bahwa izin penetapan menara SUTET dari Segara Rupek hingga ke Antosari. "Kami akan lakukan forum general discussion (FGD) dibantu dengan Universitas Udayana mengenai masalah ini. PLN akan mengikuti dan tunduk pada aturan lembaga umat. PLN akan realisasikan JBC tanpa menentang aturan keagamaan," katanya.
Sementara Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Kadin Bali AA Alit Wiraputra berkeinginan Pulau Bali mandiri dalam energi listrik. Peningkatan kapasitas listrik dilakukan dengan pembangunan pembangkit listrik di Pulau Dewata.
Bali, selama ini, memang sudah memiliki tiga pembangkit listrik, yakni PLTG Gilimanuk menghasilkan 130,4 MW, PLTU Celukan Bawang 380 MW, PLTG Pemaron 80 MW, dan PLTG/PLTD Pesanggaran 354 MW, maka total pembangkit listrik di Bali menghasilkan 944,4 MW.
Peningkatan produksi listrik dari Bali sendiri belakangan dilakukan dengan pembangunan PLTU Celukan Bawang tahap ke-2. PLTU Celukan Bawang menggunakan batu bara yang menimbulkan polusi yang juga ditolah BEM Fisip Universitas Udayana dan masyarakat sekitar.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana menyatakan menolak rencana pembangunan tahap dua PLTU Batubara Celukan Bawang sebesar 2x330 MW.
"Kami bersama teman-teman telah menyatakan menolak pembangunan megaproyek tersebut karena dampaknya terhadap lingkungan sangat berbahaya dan sekarang masyarakat di sekitar kawasan PLTU Celukan Bawang sudah merasakannya," kata Ketua BEM FISIP Unud, Anang Putra Setiyawan saat diskusi di Kampus Unud Denpasar, Selasa (20/2/2018).
Perwakilan masyarakat Celukan Bawang bersama Greenpeace Indonesia yang didampingi Tim Kuasa Hukum dari YLBHI-LBH Bali mendaftarkan gugatan terhadap SK Gubernur Bali No.660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang izin lingkungan PLTU Batubara Celukan Bawang 2x330 MW, ke PTUN Denpasar, Rabu (24/1).
Masyarakat yang selama ini terkena imbas PLTU Celukan Bawang protes karena tidak dilibatkan dalam proses pembuatan Amdal. Sementara Ketua Kadin Bali AA Ngurah Alit Wiraputra berkeinginan pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) seperti pembangkit tenaga surya, air atau angin (bayu) di Bali.
Namun Dewanto, deputi manajer PLN bidang EBT, menjelakan bahwa pembangunan pembangkit listrik EBT di Bali tetap saja memerlukan fondasi atau tulang punggung pasokan listrik yang stabil seperti JBC. Setelah JBC terealisasikan barulah bisa dibangun pembangkit listrik EBT sebagai pendukung atau penopang.
Jadi proyek JBC sebagaimana rencana pemerintah dan PLN harus terealisasikan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Bali sebagai destinasi wisata dunia dengan memerhatikan norma agama Hindu dan kearifan lokal masyarakatnya, sehingga dapat tumbuh pembangkit listrik EBT.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu