Studi Kereta Cepat Jakarta-Surabaya tengah memasuki tahap finalisasi, kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri.
"Studi sedang dikerjakan sekarang dalam tahap finalisasi," kata Zulfikri di Jakarta, Senin.
Zulfikri menjelaskan saat ini studi yang dikerjakan baik oleh pihak Jepang melalui Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) dan pihak Indonesia Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) masih menggodok terkait kebutuhan biaya proyek tersebut.
Pasalnya, lanjut dia, ongkos proyek yang ditaksir masih dianggap sangat mahal mengingat pembangunan tidak hanya jalurnya saja, tetapi juga harus membereskan 900 lebih perlintasan sebidang sepanjang Jakarta-Surabaya.
Total investasi KA Cepat Jakarta Surabaya, yaitu Rp60 triliun, termasuk Rp20 triliun untuk 900 lintas sebidang kereta api Jakarta-Surabaya.
"Diselesaikan dulu oleh JICA dan BPPT agar efisien karena nilainya cukup besar," katanya.
Sementara itu, lanjut dia, terkait adanya peluang sokongan dana dari investor asing, dalam hal ini, Japan Bank for International Cooperation (JIBC).
"JIBC masuk kita coba lihat kemungkinan-kemungkinan masuknya, siapa tahu dengan adanya penyandang dana, tadinya 'G to G' jadi 'B to B' , wah senang sekali," katanya.
Ongkos proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya dinilai mahal berdasarkan kajian terakhir.
"Kita masih mengkaji dari berbagai aspek, termasuk aspek sosial dan teknologi, ada beberapa opsi dengan pendekatan 'multicriteria analysis', ada opsi yang paling menguntungkan, tetapi biayanya juga tinggi," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo.
Sugihardjo menjelaskan dari studi yang sudah dilakukan bisa didapatkan biaya yang murah, namun hanya dari satu aspek, misalnya dari aspek teknologi. Sementara, dari aspek lainnya biayanya masih tinggi.
"Ternyata yang paling murah itu bukan pilihan yang terbaik, hanya satu aspek yang paling murah, contoh dari sisi teknologi, kita bangun relnya tapi dengan timbunan sembilan meter, bagaimana biaya sosialnya, masyarakat dua desa jadi terbelah, itu harus dipikirkan," katanya.
Dia menambahkan baik pemerintah Jepang maupun Pemerintah Indonesia telah menyetujui untuk menggunakan rel sempit (gauge 1.067 mm) bukan rel standar (gauge 1.431 mm) karena menyesuaikan karakteristik lahan di wilayah Jawa yang padat dan sudah banyak jaringan.
"Kalau Sulawesi bisa 1.432 mm, kalau Jawa memanfaatkan yang ada 1.067 mm, memang ada pemikiran kereta cepat ya pakai standar 'gauge' tapi biaya lebih mahal. Ini masih butuh keputusan pimpinan nasional, dari para menteri, Pak Menko, Menkeu." katanya.
Untuk itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membuka peluang bagi swasta untuk masuk dan berinvestasi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya, dalam hal ini, Japan Bank for International Coorperation (JBIC).
"Kalau JBIC menawarkan suatu konsep yang baik terutama melibatkan swasta, swasta Jepang dan Indonesia ini suatu kemajuan yang luar biasa," katanya.
Budi mengatakan perwakilan pihak JBIC telah menemui pemerintah dan memaparkan konsep kereta cepat Jakarta-Surabaya.
Namun, dia mengaku tidak mau terlalu terburu-buru dan masih akan memperlajari tawaran JBIC tersebut, meskipun dengan tawaran tersebut memberikan nilai lebih terhadap proyek KA Cepat Jakarta-Surabaya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat