Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Niat Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Surabaya dengan Pihak China Seharusnya Ditunda

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik

Niat Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Surabaya dengan Pihak China Seharusnya Ditunda Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Produsen kereta api cepat tidak hanya China. Ada Korea Selatan, Jepang, Jerman, Perancis, dan Italia sebagai negara produsen kereta api cepat yang unggul. Negara tersebut bisa dijadikan pembanding yang lebih menguntungkan tidak hanya dalam sisi pembiayaan dan pelaksanaan proyek, tetapi sisi keberlanjutan untuk keuangan negara. Malah sebenarnya Indonesia telah masuk dalam jebakan pola kerja sama dengan China yang terkesan menguntungkan, tetapi sesungguhnya tidak menguntungkan bagi Indonesia di masa depan.

Ada tiga alasan, yaitu:

  1. Pertama, dari pengerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam kurun waktu 4 tahun kemudian mangkrak hingga 9 tahun lebih menunjukkan adanya kegagalan dalam perencanaan. Kegagalan perencanaan ini selain mengakibatkan waktu penyelesaian yang berlarut-larut, juga biaya yang makin besar;
  2. Kedua, pembengkakan biaya sebesar Rp1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp18,02 triliun. Tidak tanggung-tanggung total biaya proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dolar AS atau setara Rp108,14 triliun;
  3. Ketiga, Indonesia lemah dalam diplomasi dan negosiasi sehingga terjebak dengan beban keuangan yang harus ditanggung APBN yang menyebabkan Indonesia berada dalam pilihan sulit antara melanjutkan dengan konsekuensi dibantu APBN atau berhenti yang membuat anggaran yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia.

Baca Juga: Tembus 350 Km Per Jam, Kereta Cepat Jakarta Bandung Ukir Rekor Laju Kecepatan Tertinggi di Indonesia

Evaluasi Perencanaan-Pelaksanaan KCJB

Di awal perencanaan KCJB, skema pembiayaan dari China sangat menggiurkan, terutama dalam aspek suku bunga pembiayaan yang lebih kecil daripada pembiayaan dari Jepang dan dari sisi waktu pelaksanaan yang dirancang lebih cepat. China juga terkesan lebih untung karena menjanjikan transfer knowledge dan teknologi.

Namun, pada kenyataaanya skema KCJB merugikan APBN Indonesia dalam tiga aspek:

Pertama, APBN makin berat memberikan layanan sosial karena alokasi penyertaan modal KCJB tersebut. Saat ini kondisi keuangan negara tidak sehat karena sepertiga APBN digunakan untuk membayar utang, sedangkan sepertiga lainnya untuk anggaran gaji PNS tahun 2023 naik 3,3 persen yang sebelumnya sudah mencapai Rp426,5 triliun atau sebesar 2,36 persen dari PDB. Sisanya, yaitu sepertiga sisa, dibagi antara program sosial dan program anggaran infrastruktur.

Apalagi pembayaran pokok utang pada tahun 2022 saja sudah mencapai Rp519,85 triliun, bunga utang sebesar Rp386,34 triliun, sehingga totalnya mencapai Rp906,19 triliun. Utang luar negeri ini diprakirakan akan terus meningkat setiap tahunnya menjadi hingga Rp1.041,4 triliun pada 2023. Sementara, pembangunan IKN pun menyedot anggaran yang sangat besar. APBN makin tidak logis memberikan layanan publik bila ada proyek lain seperti kereta api cepat Jakarta-Surabaya.

Kedua, Projek KCJB sebelumnya dijanjikan tidak akan menggunakan APBN dan dalam proposalnya tidak meminta jaminan APBN, tapi pada kenyataannya pemerintah harus menyuntikkan dana dari APBN untuk merampungkan projek KCJB. Artinya, ada komitmen yang tidak ditepati oleh China yang pada akhirnya menjadi beban bagi keuangan negara.

Ketiga, dalam praktik KCJB ternyata dalam penggunaan tenaga kerja tidak terjadi transfer knowledge dan transfer teknologi sebagaimana yang dijanjikan. Ini terbukti hingga saat ini pengerjaan di level teknis yang paling bawah masih ditangani oleh TKA Cina.

Dari pertimbangan tersebut lebih baik Indonesia menahan diri menggunakan skema KCJB untuk proyek kereta api cepat serupa di kota lain. Setidaknya sampai kondisi keuangan negara solid dulu. Jika akan dilaksanakan karena kondisi keuangan sudah mendukung, lebih baik dibuka opsi bekerja sama dengan negara lain yang lebih potensial dan lebih berkomitmen dalam menyelesaikan pekerjaan secara tuntas sesuai perencanaan.

Skema kereta api cepat di masa depan seharusnya mampu menyerap tenaga kerja lokal yang lebih banyak. Bila ada keterampilan yang kurang mendukung dari tenaga kerja lokal, pemerintah perlu menyiapkan terlebih dahulu pelatihannya melalui pelatihan khusus yang diatur dalam MoU kerja sama dengan pemenang tender kereta api cepat asal luar tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: