Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus terpuruk belakangan ini. Data JISDOR Bank Indonesia (BI) hari ini, Kamis (26/4/2018), menyebutkan rupiah berada pada posisi Rp13.930/US$, melemah cukup dalam bila dibandingkan posisi kemarin yang berada pada level Rp13.888/US$.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2018 dan terbuka peluang posisi nilai tukar rupiah hingga Rp14.000-Rp14.200/US$.
"Ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah. Pertama, investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Fund Rate pada rapat FOMC tanggal 1-2 Mei mendatang. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp9,46 triliun dalam 1 bulan terakhir," ujar dia kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Selain itu, kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond di atas 3% jelang rapat Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) juga membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun.
Faktor kedua, lanjut Bhima, adalah harga minyak mentah yang diprediksi naik lebih dari US$78 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga bbm nonsubsidi (Pertalite, Pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar.
"Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir," paparnya.
Ketiga ialah terkait permintaan dolar AS yang diperkirakan naik pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Untuk diketahui, investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mereka mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
"Keempat, importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," tambah Bhima.
Kelima, dari sisi domestik, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1% terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.
Lalu yang terakhir, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2018 diperkirakan tidak akan mencapai 5,1%. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan data penjualan ritel yang turun pada triwulan I 2018.
"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4%," tutur Bhima.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah