Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sektor Tambang Mengerem Utang Luar Negeri

Sektor Tambang Mengerem Utang Luar Negeri tambang | Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tren utang luar negeri (ULN) swasta sektor pertambangan dan penggalian dalam 5 tahun terakhir cenderung melambat, berdasarkan data time series SULNI BI Maret 2018 lalu. Pada Januari 2014, misalnya, ULN swasta sektor pertambangan dan penggalian tercatat mencapai US$26,745 miliar atau turun 0,7% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$26,958 miliar. Lalu, pada 2015 mencapai US$25,390 miliar atau turun 5% secara year on year (yoy); 2016 mencapai US$23,254 miliar atau turun 8,4% secara yoy; dan 2017 mencapai US$23,210 miliar atau turun 0,1% secara yoy. Adapun pada Januari 2018, angkanya mencapai US$23,114 miliar atau turun 0,4% yoy.

Direktur Departemen Statistik, Departemen Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik BI, Tutuk Cahyono, menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan sektor pertambangan saat ini masih mengalami konsolidasi, meski kontraksinya tidak sebesar tahun 2016 lalu. Positifnya, adanya utang menunjukkan perusahaan tambang masih melakukan international trade, meski mungkin mereka menunda aktivitas impor bahan baku untuk produksi, atau menunda pencairan pinjaman dari afiliasinya.

Ditambah lagi, sejak paruh kedua tahun 2016 lalu, harga batu bara memang cenderung naik. Namun, kebanyakan perusahaan batu bara masih berhati-hati dalam berutang atau pun melakukan ekspansi bisnis karena di periode sebelumnya—periode ketika harga komoditas turun—mereka banyak mengalami kredit bermasalah (non-performing loan yang tinggi) dan banyak melakukan restrukturisasi di perbankan.

Lalu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan harga batu bara belakangan hanya bersifat sementara (temporer). Memang, perusahaan tambang—khususnya perusahaan menengah-bawah—perlu waktu dalam melakukan recovery tambang mereka, yang sempat terbengkalai kala harga komoditas anjlok di era sebelumnya. Kendala teknis, seperti tambang yang tergenang air hujan, dapat jadi penghambat, meski perusahaan tambang terbuka (listed) tampak mulai ekspansif di awal tahun 2018. Harapannya, ULN akan kembali tumbuh secara penuh di kuartal II 2018.

Tidak bisa dipungkiri, perbaikan peringkat investasi Indonesia membuat beban biaya perusahaan swasta semakin rendah. Alhasil, makin marak perusahaan yang menambah utang, baik melalui bond issue untuk refinancing, maupun melakukan tambahan utang baru. “Meski sektor tambang masih mengalami perlambatan, namun secara umum ULN swasta tumbuh 6,8% secara tahunan, yang bisa menjadi indikasi bahwa operasional perusahaan sebenarnya meningkat,” kata dia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyatakan karakterisitik bisnis tambang yang harus menghabiskan kontrak memerlukan kepastian regulasi mulai dari perpajakan, lingkungan, dan izin di daerah agar investasi dapat berjalan dengan lancar. Apalagi ditambah kewajiban membangun smelter, perusahaan makin butuh kepastian terkait perpanjangan kontrak.

Faktor kedua, harga batu bara itu sendiri. Menurut dia, memang sulit untuk memprediksi secara tepat harga komoditas, khususnya batu bara, karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Permintaan dari India dan juga faktor cuaca semakin sulit diprediksi. Produsen batu bara tentu berharap harga tetap menguat, tetapi sebagian besar para produsen juga khawatir harga akan tertekan karena kecenderungan over supply. Sementara itu menurut International Energy Agency (IEA), demand secara global juga diprediksi akan berkurang.

Diakuinya, pada periode tahun 2014—2016 harga batu bara sempat menyentuh level terendah sehingga membuat investasi turun drastis dan nyaris terhenti. Sementara, dampaknya secara psikologis masih terasa. Pada tahun 2018, sebagian perusahaan mematok angka produksi yang konservatif dan lebih banyak berhati-hati mematok investasi. 

“Harusnya di pertengahan 2018 ini dengan harga yang membaik, trennya (ULN) akan meningkat. Kalau kita lihat, sudah ada beberapa emiten yang mau merilis obligasi, tetapi harus dilihat lagi karena perkembangan terakhir harga komoditas, struktur harga, dan sebagainya baru akan keluar di akhir Maret,” kata dia. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: