Bagi pelaku industri komponen otomotif, ketersediaan bahan baku dan teknologi menjadi hal yang krusial, tidak terkecuali bagi Astra Otoparts selaku pemain besar di industri ini. Untuk bahan baku, setidaknya ada empat yang utama, yakni baja, aluminium, plastik, dan karet.
Bahan baku yang sebagian besar diimpor tersebut membuat perusahaan terekspos (rentan) terhadap kurs asing, baik itu yen Jepang maupun dolar AS, padahal revenue yang didapat dari penjualan domestik dalam bentuk rupiah. Akibatnya, saat dolar menguat, posisi industri kerap terjepit. Sejauh ini, Astra Otoparts melalui 53 anak perusahaannya punya porsi beban berbeda atas ketergantungan impor. Secara rata-rata, beban bahan baku impor berkisar 60%—65% dari harga pokok penjualan.
Dengan karakteristik bisnis komponen yang letaknya (posisi supply chain) di hulu membuat perusahaan kurang leluasa menyesuaikan harga ketika terjadi penguatan valas. Berbeda dengan para original equipment manufacturer (OEM) sebagai customer perusahaan komponen yang memiliki keleluasaan untuk menaikkan harga, terutama pemain yang sudah mapan. Dengan market share-nya yang cukup tinggi, tentu mereka lebih memiliki keleluasaan untuk mengendalikan harga.
Posisinya berbeda apabila bicara soal menaikkan harga. Misalnya salah satu OEM yang hampir setiap tahun harga mobilnya selalu naik. Sementara, tidak semudah itu menaikkan harga ke OEM tersebut karena bargaining power kami kalah. Kalau dinaikkan, mereka akan ambil dari yang lain. Tentu tidak mudah menyesuaikan kenaikan harga ataupun cost kepada customer, sedangkan OEM lebih mudah sejauh kompetisinya mendukung.
Imbas dari penguatan valas ini ada pada laba yang tergerus. Pada kuartal I-2018 lalu, pendapatan Astra Otoparts naik 10,66% dari Rp3,47 triliun menjadi Rp3,84 triliun. Namun, adanya kenaikan beban, salah satunya dari valas, membuat laba bersih perseroan turun tipis 1,07% dari Rp147,57 miliar menjadi Rp145,99 miliar.
Untungnya, sudah ada skema dengan OEM terkait kenaikan dolar. OEM akan meng-adjust meski tetap ada lag waktu, bervariasi antara 3—6 bulan tergantung kebijakan masing-masing OEM. Ada OEM yang melihat fluktuasi kurs selama 6 bulan dulu, baru kemudian diterapkan di 6 bulan berikutnya. Namun, karena industri harus mengeluarkan biaya di awal, cashflow perusahaan mengetat. Alternatif lain, perusahaan bisa memperbesar kontribusi pendapatan valas atas penjualan ekspor sebagai kompensasi.
Saat ini mayoritas bahan baku tersebut diimpor. Baja spesial (untuk membuat deep drawing filter maupun kebutuhan interior), misalnya, masih diimpor. Meskipun belakangan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sudah mulai memproduksi beberapa tipe baja yang cocok untuk kebutuhan perseroan. Diharapkan, kalau porsi tipe-tipe baja itu bisa dipenuhi secara volume industri, ketergantungan impor akan berkurang.
Aluminium (spesifikasi ADC 12) untuk pembuatan velg dan piston pun masih diimpor. Namun, ke depan rencananya akan dipenuhi oleh PT Inalum yang telah menyanggupi pembuatan aluminium industri dalam beberapa tahun mendatang dengan menambah proses di pabrik aluminium mereka. Sementara biji plastik (acrylonitrile butadiene styrene dan polypropylene) dan karet sintesis untuk pembuatan berbagai seal termasuk oil seal, masih diimpor.
Adapun terkait teknologi, diakui bahwa belum semua perusahaan komponen memiliki teknologi yang advance. Misalnya terkait komponen sprocket, saat ini sudah ada teknologi yang memungkinkan biaya produksinya lebih hemat 30%—40%, yakni dengan menggunakan computerized CNG tuning sehingga secara teknis hasilnya lebih baik. Dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Jepang yang terkenal dengan konsep monozukurinya (membuat produk), perusahaan lokal apalagi yang UKM masih tertinggal.
Di bidang teknologi kendaraan listrik misalnya, perusahaan sejak tahun lalu sudah melakukan penjajakan peluang kerja sama untuk produksi komponen electronic vehicle (EV), baik berupa opsi mendirikan pabrik baru, joint venture, dan sebagainya. Mau tidak mau, perkembangan teknologi di dunia otomotif juga menuntut Astra Otoparts menyesuaikan diri dengan permintaan pasar.
Untuk dapat melakukan berbagai riset, Astra Otoparts telah mengalokasikan dana belanja modal (capex) pada tahun ini, salah satunya untuk pengembangan produk komponen kendaraan listrik.
Teknologi, diakui Hamdhani, akan menjadi game changer ke depan, mengingat OEM juga selalu memperhatikan kualitas pasokan barang dari industri komponen. Meskipun Astra Otoparts satu grup usaha dengan OEM tertentu, belum tentu diterima kalau memang quality, cost, and delivery (QCD) tidak memenuhi kriteria yang disyaratkan OEM.
Pada prinsipnya, OEM menerima semua pemain komponen. Namun, mereka tetap akan melihat background, reputasi, keuangan, serta aspek-aspek penting lain termasuk apakah pabrikan tersebut sering mogok. OEM sudah memiliki tim audit yang akan melihat dari semua aspek, baik sisi finansial, teknis lapangan, dan sebagainya.
Teknologi juga penting untuk menjamin kualitas produk yang sesuai kondisi terkini, mengingat hubungan antara supplier dengan customer (OEM) merupakan hubungan jangka panjang. Misalnya, untuk satu komponen tertentu yang disuplai, pembuatannya akan memerlukan peralatan dies (cetakan) yang tidak cukup hanya satu unit, melainkan ratusan ribu atau bahkan jutaan sehingga bisa mencapai break event point.
Umumnya, umur dari satu model itu, untuk mobil sekitar 4 tahun. Saat ada pergantian model, Astra Otoparts biasanya tetap jadi kandidat utama untuk menyuplai komponen mobil baru tersebut. Adapun model baru yang terhitung sebagai investasi baru, dibutuhkan hitung-hitungan yang disepakati antara OEM dan supplier.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: