Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Membangun Kemandirian Industri Komponen Lokal

Membangun Kemandirian Industri Komponen Lokal Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketergantungan bahan baku impor masih momok bagi pelaku industri komponen otomotif di dalam negeri. Selain itu, penguasaan teknologi yang terkait kualitas produk dan harga jual menjadi tantangan bagi industri komponen berstatus industri kecil menengah (IKM). Keberpihakan pemerintah kunci kemandirian industri komponen.

Ibarat telur atau ayam, begitu pula dengan kondisi industri komponen di dalam negeri. Apakah mesti pelaku industri komponen duluan yang ambil inisiatif membangun industri lalu akan mengkreasi pasar, atau pasar komponen otomotif duluan yang tumbuh, baru industri komponen masuk di dalamnya. 

Kenyataan inilah yang dihadapi industri komponen di Indonesia. Bahwa secara rerata tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) industri otomotif di dalam negeri merujuk Kementerian Perindustrian sudah di atas 60%. Bahkan ada beberapa jenis mobil buatan dalam negeri, seperti beberapa merek Toyota, mengeklaim TKDN sudah di atas 80%.

Namun, apabila klaim TKDN tadi ditelusuri dari asal bahan baku (raw material) untuk membuat komponen otomotif itu, masih ada sebagian besar yang diimpor. Misalnya, empat bahan baku utama otomotif seperti baja, karet, plastik (resin), dan aluminium untuk spesifikasi otomotif belum bisa diproduksi di dalam negeri dan terpaksa mesti diimpor. 

Pertanyaannya, kenapa produksi keempat material utama komponen otomotif tersebut belum memenuhi standar industri otomotif. Menurut, CEO PT Astra Otoparts Tbk, Hamdhani, bukannya mereka—keempat produsen bahan baku utama tadi—tidak mampu memenuhi standar industri otomotif, tetapi skala pasarnya yang belum memenuhi titik ekonomis. Kenyataan ini seperti menghadapi situasi dilematis: telur atau ayam duluan.

“PT Krakatau Steel bukannya tidak sanggup memenuhi suplai baja untuk spesifikasi industri otomotif, mereka bertanya apakah kalau invest pabrik baja untuk industri otomotif pasarnya sudah memadai?” tutur Hamdhani yang juga merangkap Ketua Umum Gabungan Industri Alat Motor dan Mobil (GIAMM). Hal yang sama juga berlaku bagi produsen aluminiun seperti PT Inalum, produsen biji plastik seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan produsen karet alam.

Dengan gambaran seperti itu, tidaklah heran apabila neraca perdagangan kendaraan bermotor mengalami defisit pada periode 2011— 2014. Merujuk data Badan Pusat Statistik dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), neraca perdagangan kendaraan bermotor pada 2011 defisit US$4,3 miliar. Angka defisit ini membengkak menjadi US$4,9 miliar pada 2012 dan menyusut pada 2013 dan 2014 menjadi US$3,3 miliar dan US$1,0 miliar. Surplus baru terjadi pada 2015—2017, masing-masing US$75 juta, US$569 juta, dan US$142 juta. 

Surplus neraca perdagangan sektor otomotif bisa terjadi dikarenakan beberapa bahan baku utama pembuatan komponen otomotif, seperti resin, sudah dipasok produksi dalam negeri. Ambil contoh, kerja sama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menjalin kemitraan dengan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP) yang memproduksi termo plastik (resin polypropylene impact copolymer) untuk industri komponen kendaraan.

Pihak PT CAP akan memasok kebutuhan termo plastik sebesar 25 ribu ton per tahun untuk 500 ribu unit mobil, dengan perkiraan secara rerata pemakain termo plastik sebesar 50 kg per unit mobil. Saat ini, kapasitas pabrik polipropilena PT CAP sebesar 480 ribu ton per tahun dan akan digenjot lagi menjadi 580 ribu ton per tahun kurun beberapa tahun ke depan. Melalui kerja sama PT TMMIN dan PT CAP ini, setidaknya devisa negara yang dihemat dari substitusi impor resin dan komponen mobil bisa mencapai nilai US$60 juta per tahun. 

Substitusi impor tersebut masih akan terus berlangsung apabila kerja sama PT Krakatau Steel dan Nippon Steel untuk memproduksi baja khusus industri otomotif sudah bergulir ke pasar dalam negeri. Tentu hal ini akan ikut memangkas impor komponen bahan baku komponen otomotif. Begitu pula apabila aluminium bisa dipasok PT Inalum dan produksi karet lokal bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, ekspor mobil made in Indonesia yang terus meningkat dari 200 ribu unit completely built up (CBU) pada 2015 menjadi 231 ribu pada 2017, membuat wajah neraca perdagangan sektor otomotif jadi positif.

Meski menyuguhkan gambaran yang positif dari sisi neraca perdagangan sektor otomotif, sejatinya pelaku industri komponen di dalam negeri— khususnya yang berstatus industri kecil menengah—masih menghadapi persoalan dalam hal ketersediaan bahan baku dan impor komponen utuh oleh prinsipal pabrikan mobil di dalam negeri dari negara asalnya. Belum lagi arus investasi asing komponen otomotif dari luar negeri, seperti China dan Jepang. Di satu sisi bagus untuk program investasi dan penyerapan tenaga kerja, namun kehadiran mereka membuat persaingan semakin sengit. 

Ambil contoh pabrikan mobil merek Wuling asal China yang membangun pabrik di Cikarang, Jawa Barat dengan nilai US$700 juta atau setara Rp9,8 triliun dengan kurs Rp14.000/dolar AS. Untuk memasok jenis komponen seperti original equipment manufacturer (OEM), Wuling lebih memilih untuk membangun pabrik komponen sendiri di sekitar pabrik atau impor dari negeri leluhurnya. Kenyataan ini juga berlaku bagi produsen mobil asal Jepang yang masih kuat menganut prinsip keiretsu untuk komponen OEM yang kebanyakan dipasok dari pabrikan sendiri atau suplier dari negara asalnya. 

Dengan gambaran seperti itu, tidaklah heran apabila jumlah industri komponen OEM—seperti power train, mesin, transmisi, dan axle—di dalam negeri hanya 22 perusahaan saja. Bandingkan dengan industri komponen Tier I, seperti engine assy, body mobil, chasis, sistem suspensi, sistem rem, elektrikal, dan lainnya yang berjumlah 500 perusahaan. Begitu pula industri komponen Tier II dan Tier III yang umumnya memproduksi jenis komponen yang “gampang haus pakai” (after market), seperti oli, kampas rem, bearing, plastik, dan steel casting yang berjumlah 1.000 perusahaan.

Masih derasnya banjir impor komponen dan ketergantungan bahan baku, sudah barang tentu memukul pelaku industri komponen otomotif yang masuk kategori IKM, yang terhimpun dalam Perkumpulan Industri Kecil dan Menengah Komponen Otomotif (PIKKO), tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menurut Panky Tri Febriyansyah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), IKM ini membutuhkan sokongan dan perlindungan pemerintah. Setidaknya ada jenis-jenis komponen yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri agar diberi “perlindungan” dari produk sejenis impor. Atau, diupayakan kemitraan dengan pabrikan otomotif di dalam negeri.

Persoalan komponen otomotif yang diproduksi IKM mencuat atas tiga hal, yakni dari sisi kualitas (quality), harga (cost), dan pengiriman (delivery) disingkat QCD. Tiga aspek ini yang menjadi kendala utama pabrikan mobil dalam menjalin kemitraan dengan IKM. Tidaklah heran apabila pabrikan otomotif lebih condong memilih produk impor dengan harga murah, kualitas lebih prima, dan ada kepastian suplai ketimbang mengandalkan IKM. Inilah pekerjaan rumah bagi pelaku industri komponen otomotif yang tergabung dalam GIAMM dan Kemenperin. Setidaknya, jangan sampai pepatah “tikus mati di lumbung padi” kejadian terhadap IKM komponen otomotif di dalam negeri yang tidak bisa menikmati pasar otomotif yang terus bertumbuh. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: