Dengan semangat, siswa-siswi SD Tugu Rimba melahap santapan mie bersama-sama di halaman sekolah Auditorium Pasca Penen Bogor, Jawa Barat.
"Mie-nya enak. Lebih enak mie ini dari yang biasanya," ungkap Malika, salah satu siswi tentang cita rasa mie yang baru saja dilahapnya. Malika tak sendiri, teman-temannya juga memberi komentar yang sama.
Mie yang disantap Malika dan kawan-kawan bukan mie biasa, ini adalah Mie Nusantara yang baru saja diluncurkan, Rabu (10/11/2018) lalu.
Mie Nusantara terbuat dari bahan baku pangan lokal, yakni sagu, hanjeli, sorgum, jagung, dan ubi kayu. Mie memang menjadi santapan favorit masyarakat Indonesia tanpa pandang usia.
Sayangnya, mie yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat umumnya terbuat dari bahan baku impor (terigu). Bahkan konsumsi terigu nasional meningkat 1 kg per kapita per tahun. Dari 15,5 kg per kapita per tahun pada 2008, menjadi 25 kg per kapita per tahun pada 2018. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap terigu yang semakin tinggi, dan tentunya meningkatkan beban devisa negara. Pemerintah berharap dengan peluncuran mie berbahan baku pangan lokal ini dapat mengurangi ketergantungan produk pangan berbahan baku impor.
"Kita sudah lebih 20 tahun memakan tepung impor. Ini harus kita ubah pelan-pelan," ujar Kepala Badan Litbang Pertanian, M Syakir usai membuka Pangan Lokal Fiesta di Bogor beberapa waktu lalu.
Bagaimana caranya? Ia mengingatkan Indonesia adalah negara terbesar kedua di dunia dalam keragaman hayati. Berbagai sumber daya lokal yang dimiliki bisa dikembangkan sebagai pangan pokok.
"Karena itu, daerah yang selama ini pernah mengonsumsi pangan lokal akan kita bangkitkan kembali," katanya optimistis.
Penerapan Teknologi untuk Pengendalian Pangan Impor
Penerapan inovasi menjadi salah satu upaya untuk menekan tingginya tingkat ketergantungan terhadap produk olahan terigu. Dengan inovasi bahan pangan lokal, sangat berpotensi menjadi alternatif substitusi terigu.
Berbagai teknologi pengolahan dengan memanfaatkan pangan lokal sebagai bahan baku pangan pokok atau pun kudapan sudah banyak dihasilkan. Beberapa teknologi tersebut di antaranya modifikasi tepung atau pati, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, penggunaan aditif, formulasi produk mampu menghasilkan tingkat substitusi terigu. Di antaranya roti 10-20%, mie 10-30%, kue 50-100%, dan kue kering, serta kukis 100%.
"Ini memperlihatkan bahwa kita siap dengan teknologi. Membuktikan juga Indonesia bisa membuat mie nonterigu. Saat ini, pemerintah memang bukan lagi sebatas promosi, tapi harus langsung berbuat," kata Syakir.
Untuk mempercepat hilirisasi inovasi pengolahan pangan lokal tersebut, Balitbangtan menggandeng pemda sentra produksi atau pun sentra konsumsi pangan lokal, membangun model agroindustri pangan lokal. Di antaranya, di Cimahi (berbasis ubi kayu), Sumedang (berbasis hanjeli), Demak (berbasis sorgum), Palopo, Maluku Tengah, Sorong, dan Jayapura berbasis sagu.
Dalam pengembangan model tersebut, Balitbangtan menyiapkan panduan proses pengolahan mulai dari bahan baku hingga menjadi tepung dan produk olahannya, seperti berasan, mie, dan produk turunan lain.
"Dengan adanya teknologi tersebut, kami mengundang kalangan industri untuk bekerja sama mengembangan industri produk pangan berbahan baku lokal," kata Syakir.
Peluang pengembangan produk pangan lokal memang terbuka lebar, termasuk mie dan berbagai jenis kue. Misalnya pangan sagu, Indonesia mempunyai hutan sagu terbesar di dunia mencapai 5,5 juta hektare atau mendekati 85% populasi sagu dunia. Sayangnya potensi ini belum dikembangkan dengan baik.
Begitu juga dengan sorgum yang merupakan sumber pangan lokal potensial lain. Tanaman sorgum sangat hemat air dan bisa tumbuh dengan baik di daerah kering berbatu seperti di NTT.
Pun ubi kayu, jagung, serta berbagai tanaman lain seperti hanjeli, garut, ganyong, talas, dan sukun. Pangan lokal itu pernah menjadi sumber pangan di sebagian masyarakat Indonesia. Namun, kini nasibnya miris karena terpinggirkan konsumsi beras dan terigu yang semakin meningkat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti