Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Strategi Insentif Tidak Sehat, Grab Disarankan Lebih Rasional

Strategi Insentif Tidak Sehat, Grab Disarankan Lebih Rasional Kredit Foto: Reuters/Beawiharta
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perusahaan aplikator Grab disarankan untuk lebih rasional dan menghindari pelanggaran atas persaingan usaha yang tidak sehat di Asia Tenggara. Hal tersebut disampaikan seiring dengan kehadiran Go-Jek di Singapura.

"Kami tahu dokter dan ekonom sama-sama setuju bahwa gula yang terlalu banyak itu buruk untuk kesehatan bayi, walaupun bisa jadi solusi penenang sementara," kata kolumnis Bloomberg, Tim Culpan, dalam artikel berjudul 'Saran Ekonom dan Dokter untuk Grab' seperti dikutip dari Bloomberg beberapa waktu lalu.

Gula dimaksud Culpan dalam kutipan di atas adalah insentif. Strategi "bakar uang" yang masih terus dilakukan Grab di Singapura dan termasuk di Indonesia. Tulisan Culpan itu merupakan sebuah sindiran tajam terhadap Grab dari Singapura dengan kata kunci, "Setop sistem insentif dan bertindaklah yang rasional agar perusahaanmu sehat." Artikel tersebut merangkum pendapat para ekonom tentang keberadaan startup. 

"Memang sulit (hampir tidak mungkin) untuk tiba-tiba setop memberikan sejumlah insentif tersebut. Namun, apabila para pendiri startup (Grab) tersebut mau benar-benar menunjukkan keberanian, mereka seharusnya ambil jalur yang sedikit lebih sulit namun rasional," sarannya. 

Culpan tidak meragukan kemampuan manajemen GrabTaxi Holdings Pte yang dihuni banyak individu pintar. Namun, tidak ada salahnya untuk memperhatikan dan mencerna saran para ekonom.

Sebab, kesalahan sudah terjadi. Pertama, ketika Grab menaikkan tarif secara tergesa-gesa setelah perusahaan itu mengakuisisi Uber, kemudian "mengusirnya" dari Asia Tenggara.

Belum juga tinta tanda tangan di atas kertas perjanjian akuisisi kering, Grab langsung memutuskan untuk menghisap uang dari pengemudi dan konsumennya. Hal itu terjadi terutama di Singapura.

Akibatnya, Grab terkena sanksi dari badan pengawas persaingan usaha Singapura yang pada September 2018 menjatuhkan hukuman denda. Sanksi lain adalah Grab diharuskan untuk menghitung ulang cara penentuan tarifnya dan untuk menyetop melarang driver Grab bergabung dengan perusahaan transportasi lain.

Kesalahan besar Grab kedua adalah menerapkan berbagai kebijakan secara besar-besaran, padahal Uber baru saja dibeli dan integrasi masih berjalan. Perubahan kebijakan, termasuk struktur insentif bagi pengemudi dan pelanggan.

"Ya, mungkin ini yang namanya sharing-economy ala Grab. Geraknya terlalu cepat. Belum juga Uber 'dicerna', sudah banyak kebijakan yang diubah-ubah," ungkap Culpan.

Hasilnya adalah serangkaian keluhan dari berbagai arah. Keluhan itu sebut saja seperti pendapatan driver yang menurun, tarif konsumen yang lebih tinggi, dan layanan pelanggan yang semakin memburuk. 

"Ini tentunya bukan pencapaian positif bagi perusahaan yang baru saja menggelontorkan US$3 miliar saat akuisisi (setelah akuisisi, Uber juga memiliki 27,5% saham Grab)," terusnya. 

Kini, Go-Jek asal Indonesia hadir di Singapura. Grab yang didirikan pria asal Malaysia, Anthony Tan dan Tan Hooi Ling itu secara natural harus mati-matian mempertahankan pangsa pasarnya. Klaim dari Grab mencapai 80% di Singapura.

"Bukan itu saja, Grab juga bergerak di tengah-tengah peringatan keras Pemerintah Singapura mengenai tindak kecurangannya di pasar," Culpan meneruskan.

Caranya, Grab "membalas dendam" terhadap Go-Jek, yakni dengan mengucurkan semakin banyak insentif untuk pengemudi dan diskon untuk konsumen. Culpan menyebut Grab memang punya dana yang cukup untuk memenangkan strategi bakar-bakar uang di Singapura, Indonesia, Vietnam, dan bahkan di seluruh Asia Tenggara.

Maka, kini situasi berbalik. Dari "mengeruk" keuntungan dengan menetapkan tarif tinggi, secara tiba-tiba berubah menjadi longsorkan tarif dengan memperbesar insentif.

"Masalahnya, dengan melakukan hal tersebut, Grab seakan-akan memberikan pemanis kepada semua pihak. Hal ini apabila dilakukan bertahun-tahun, akan membuat pengemudi dan konsumen protes dan menangis seperti bayi apabila pemanis tersebut tiba-tiba hilang," paparnya.

Kehadiran Go-Jek di Singapura memberikan kesempatan bagi Grab untuk mengkaji ulang strateginya. "Seharusnya Grab lebih rasional dalam menentukan insentif driver dan diskon pelanggan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi yang baik, sehingga semua pihak dapat diuntungkan, termasuk perusahaan Grab itu sendiri," Culpan meneruskan.

Kehilangan pangsa pasar tidak serta merta buruk untuk Grab. Secara teoritis, menurunnya pangsa pasar akan menurunkan jumlah permintaan dan berdampak pada meningkatnya tarif. 

Peningkatan tarif akan memastikan bahwa driver tetap mau bergabung bersama dengan Grab. "Dalam bahasa ekonom, ini yang disebut supply-demand equilibrium, yakni keseimbangan permintaan dan ketersediaan layanan," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: