Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pangeran Salman Akan Di-Saddam Hussein-kan?

Pangeran Salman Akan Di-Saddam Hussein-kan? Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menghadiri rapat kabinet di Riyadh, Arab Saudi, Selasa (28/11). | Kredit Foto: Reuters/Saudi Press Agency
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kasus pembunuhan wartawan Jamal Kashoggi kini semakin menyudutkan Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Maklum, berbagai fakta semakin mengarah ke arah keterlibatan MBS dalam peristiwa ini.

"Jika Putra Mahkota dihadapkan di depan juri, dalam 30 menit dia sudah divonis bersalah," ujar Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Bob Corker, sebagaimana ditulis Washington Post.

Posisi Trump kini menjadi sulit. Di satu sisi, secara bisnis hubungan dengan Rezim Arab Saudi ini sangat menguntungkan AS. Di sisi lain, terlalu melindungi MBS akan membuat Trump dituduh mendukung kejahatan.

Bahkan ada artikel yang sangat tajam dengan judul Mohammed Bin Salman is The Next Saddam Hussein dalam Jurnal Foreign Policy yang ditulis Ryan Costello dan Sina Tossi.

Dalam artikel tersebut Costello menyamakan pola hubungan AS-Arab Saudi dengan AS-Irak di masa sebelum perang Irak-Iran. "Karena sama-sama memusuhi Iran, " tulis Costello. Naiknya MBS mempunyai kemiripan dengan partner AS di masa lalu, Saddam Hussein, simpul Costello.

Sebelum Saddam menjadi musuh AS, dia justru didukung AS dan Barat untuk menyerang Iran. Seperti diketahui, Saddam berbalik jadi musuh AS setelah menginvasi Kuwait pada 1990.

Hubungan AS dengan Saddam dimulai pada 1963 saat dia dibantu menggulingkan Jendral Abdel Karim Kassem yang lima tahun sebelumnya menggulingkan pemerintahan monarki pro AS.

Tahun 1982 Presiden Reagan mencabut Irak dari daftar negara pendukung teroris. Lalu 17 bulan kemudian bantuan militer mulai mengalir saat Irak menguasai Khuzestan, provinsi Barat Daya Iran yang kaya akan minyak. Tahun 1983 bahkan Ronald Reagan mengutus Donald Rumsfed, sebagai utusan khusus presiden untuk normalisasi hubungan AS-Irak.

Setelah itu hubungan AS-Irak makin mesra yang ditandai dengan mengalirnya berbagai senjata. "Termasuk berbagi data intelegence, mengirim bom klaster dan fasilitas untuk senjata kimia dan biologi," tulis Costello dengan mengutip sumber dari Washington Post.

Sialnya bagi Saddam, situasi berbalik. Saat dia menggunakan senjata kimia yang menewaskan 5.000 suku Kurdi di Halabja, ini pada 2013 dijadikan Presiden George W Bush sebagai alasan untuk menginvasi Irak. Padahal saat kejadian hal ini berusaha dinetralkan demi mempertahankan "hubungan ekonomi dan politik dalam jangka panjang" dengan Irak.

Di titik ini Costello menyamakan posisi Trump saat ini dengan MBS. Dia mengutip Menlu AS Mike Pompeo yang mengatakan bahwa Arab Saudi "an important strategic alliance of United States" dan "Saudi merupakan partner yang dapat diandalkan".

Ia juga menyamakan posisi Trump sekarang sama dengan saat AS masih mendukung Saddam Hussein. Trump dianggap mendukung MBS untuk membersihkan saingan di dalam negeri, mengusir pemberontak Houthi di Yaman, serta mengisolasi Qatar.

Karena itu, Costello mengusulkam agar Trump segera bertindak, paling tidak berhenti membantu serangan Saudi terhadap Yaman, menghentikan penjualan senjata, dan membantu mencari pembunuh Khashoggi.

Beranikah Trump? Waktu yang akan menjawabnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: