Real Estate Indonesia (REI) dan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) menyoal Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 23/PRT/M/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).
Mualim Wijoyo, Wakil Ketua Umum Bidang Pengelolaan Apartemen dan Rumah Susun DPP Persatuan Perusahaan REI, mengatakan, Permen PUPR itu salah kaprah lantaran menginginkan agar pengembang tidak terlalu mendominasi dalam mengambil keputusan saat pengembangan dan pengelolaan kompleks apartemen.
Menurutnya, kekhawatiran itu tidak berdasar, sebab pengembang tentu menginginkan apartemen atau rusun yang telah dibangunnya bisa terus terjaga dan terkelola dengan baik.
Dikatakannya, jika rusun atau apartemen tidak terkelola dengan baik, tentu nama pengembang itu sendiri yang akan tercoreng dan akan sulit untuk membangun atau menjual produk apartemen lainnya di masa yang akan datang. Contohnya, jika pengembang membangun 3.000 unit apartemen, tetapi dalam Permen itu hanya mendapatkan satu suara. Jika suara tidak berimbang, tentu bisa mengganggu kepentingan pengembang.
"Padahal, kepentingan kami adalah produk yang kami bikin itu menjadi produk yang baik, nyaman, dan aman," kata Mualim.
Ketua P3SRI, Adjit Lauhatta menambahkan bahwa saat ini pembangunan properti, khususnya apartemen di kota-kota besar semakin masif, seiring meningkatnya permintaan dari kaum urban. Jika aturan yang ada saat ini tidak mendukung, maka tidak ada pengembang yang mau berinvestasi di pembangunan apartemen atau rusun.
Wakil Ketua Umum Bidang Perundang-undangan dan Regulasi Properti DPP REI, Ignesjz Kemalawarta juga meminta agar pemerintah mendengar masukan dari para pengembang. Sehingga, timbul keadilan yang sama-sama menguntungkan guna tercipta iklim usaha yang kondusif.
Terkait dengan keberatan atas Permen tersebut, REI dan P3RSI menunjuk Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra untuk mengajukan gugatan judicial review. Yusril pun menilai Permen yang diterbitkan Menteri PUPR pada Oktober 2018 lalu, menimbulkan ketidakpastian hukum. Khususnya, bagi para pemilik unit-unit satuan rusun, termasuk keresahan dan gangguan kerja pada pengembang apartemen, rumah susun terkait hak dan kewajiban dari tiap-tiap pemilik.
Menurut Yusril, ada enam kejanggalan dalam Permen PUPR itu, misalnya pada pasal 19 ayat 3 terkait pemilihan pengurus PPPSRS bertentangan dengan UU karena UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rusun pasal 75 tidak mengatur hak suara dalam pembentukan PPPSRS. Demikian juga keputusan MK No.35/PUU-XIII/2015 tentang pemilihan pengurus PPPSRS.
"Kejanggalan lain, dalam lampiran Permen Nomor 23 Tahun 2018, dalam anggaran dasar menyalahi UU karena terdapat penambahan hak yang tidak sesuai. Kemudian, pembatasan kuasa dalam pasal 15 ayat 3 membatasi hak seseorang maupun badan hukum dalam pengambilan suara, bertentangan dengan KUH Perdata maupun UU Perseroan Terbatas," ungkap Yusril dalam konferensi pers di kantornya, Ihza & Ihza Law Firm, Office Tower 88, Kota Kasablanka, Kuningan, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Menurut Yusril, Permen yang dikeluarkan tidak melalui pembahasan dengan pelaku pembangunan, dan diterbitkan dengan tidak mengacu pada pasal-pasal acuan dalam yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 20 Tahun 2011, khususnya pasal 78 UU Nomor 20 Tahun 2011, yang mendelegasikan kewenanganan pengaturan terkait dengan PPPSRS melalul PP bukan Permen.
"Hingga saat ini, rancangan terhadap PP tersebut masih dalam pembahasan secara rinci dan intensif. Permen diterbitkan mendahului diterbitkannya PP, sehingga secara hukum Permen tersebut tidak mempunyai payung hukum baik secara delegatif maupun atributif," jelas Yusril.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: