Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Minta PSU Tapi Desak Semua Komisioner KPU Diganti, Pengamat: Tidak Masuk Logika

Minta PSU Tapi Desak Semua Komisioner KPU Diganti, Pengamat: Tidak Masuk Logika Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengetuk palu tanda dimulainya persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Jumat (14/6/2019). Pada hari ini, sidang mengagendakan pembacaan materi gugatan dari pemohon, yakni Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diwakili oleh tim hukum yang diketuai Bambang Widjojanto. | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas dan pengamat hukum tatanegara Feri Amsari menyebut ada dua petitum yang tak masuk akal dalam petitum permohonan Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: 'Drama' Baru Tim Hukum BPN

"Petitum tersebut berisi 15 poin, namun menurut pandangan saya ada dua poin yang sangat aneh dan tidak logis," ujar Feri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu.

Feri mengatakan petitum tersebut terkait dengan permintaan pemohon untuk diadakannya pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah, dan permintaan pemberhentian seluruh komisioner KPU dan menggantinya dengan yang baru.

"Pertanyaan saya, kalau PSU dilaksanakan besok pagi, tapi (komisioner) KPU diberhentikan, lantas siapa yang akan melaksanakan Pemilu? Ini benar-benar tidak diterima logika," kata Feri.

Terkait dengan permintaan PSU, Feri mengatakan permohonan tersebut tidak menjabarkan alasan yang jelas mengapa PSU perlu dilaksanakan, dan tidak ada paparan bukti sejauh mana kecurangan dilakukan tersebut secara masif, sehingga PSU harus dilakukan.

"Kalau dilihat dari indikator Bawaslu, kecurangan dikatakan masif bila terjadi di setengah wilayah atau di 50 persen daerah pemilihan, masalahnya itu tidak terlihat dalam permohonan kemarin," tambah Feri.

Dia menambahkan tim hukum BPN juga inkonsisten, seperti menyebut adanya penggelembungan suara hingga 22 juta suara, sementara di bagian lain menyebutkan 16 juta suara.

Selain itu peraturan MK yang membatasi jumlah saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan membuat tim kuasa hukum Prabowo-Sandi tidak mungkin menghadirkan saksi dari seluruh pelosok Indonesia, untuk membuktikan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: