Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Digitalisasi, Jurus BPJS Kesehatan Tekan 'Si Penunggak' Iuran JKN-KIS

Digitalisasi, Jurus BPJS Kesehatan Tekan 'Si Penunggak' Iuran JKN-KIS Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah tantangan revolusi industri 4.0, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus melakukan inovasi yakni dengan menggaungkan digitalisasi layanan kesehatan.

Tak tanggung-tanggung, BPJS Kesehatan melakukan digitalisasi di semua aspek yang diinginkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), diantaranya kemudahan memperoleh informasi terkait Program JKN-KIS, kemudahan dan kecepatan mendaftar, kepastian mendapat jaminan di fasilitas kesehatan, kemudahan menyampaikan keluhan dan memperoleh solusi, serta kemudahan dan kepastian membayar iuran.

Terkait hal kemudahan dan kepastian membayar iuran, BPJS Kesehatan melakukan terobosan baru yakni fasilitas autodebit baik melalui bank maupun non-bank via aplikasi Mobile JKN, e-commerce, dan lain-lain. Bahkan saat ini sebanyak 686.735 kanal pembayaran iuran dapat dipilih dan dimanfaatkan peserta JKN-KIS.

Baca Juga: Tiga RS Pemda Manfaatkan SCF dari BPJS Kesehatan

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, dalam layanan autodebit tersebut, pihaknya telah menggandeng empat bank besar yakni Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI.

"Kemudahan dan kemauan membayar peserta kita perbaiki dengan menambah channeling pembayaran bahkan gunakan fintech, e-commerce kaya Tokopedia, Traveloka dibuka lebar. Channel kita juga banyak ada 682 ribuan kalau dari Sabang sampai Merauke mereka bisa bayar," ujar Iqbal kepada Warta Ekonomi di Jakarta, belum lama ini.

Lebih jauh, Iqbal menuturkan, layanan autodebit ini diyakini mampu meningkatkan kolektabilitas atau kepatuhan membayar iuran khususnya peserta mandiri JKN-KIS atau peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Peningkatan kolektabilitas iuran peserta mandiri, lanjut Iqbal memang menjadi fokus BPJS Kesehatan. Pasalnya segmen PBPU merupakan salah satu penyumbang missmatch BPJS Kesehatan.

Asal tahu saja, dari total 32,2 juta peserta mandiri JKN-KIS (per Juli 2019), baru 53,72% yang patuh membayar iuran. Sementara sisanya 46,28% masih sering menunggak atau membayar iuran ketika mereka sakit. Sedangkan tingkat kolektabilitas iuran dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) sudah tinggi tingkat kepatuhannya.

Nah, dengan layanan autodebit ini, BPJS Kesehatan yakin kolektabilitas atau kepatuhan peserta mandiri membayar iuran dapat meningkat menjadi 61%. Hal ini lantaran fasilitas autodebit membuat peserta JKN-KIS semakin mudah dalam membayar iuran. Mereka bisa melakukan pembayaran iuran dimana saja, kapan saja lewat aplikasi mobile JKN di handphone mereka.

"Dari kajian kita (layanan ini) meningkatkan kepatuhan membayar karena peserta dimudahkan dalam membayar. Dari kajian kami autodebit harus dilakukan, kalau tidak maka seperti selama ini peserta menunggu sakit saja baru bayar. Tapi kalau ada banknya, orang lebih mudah bisa mentransfer saldonya untuk didebit, jadi lebih pasti bisa dicollect iurannya," jelasnya.

Sementara terkait target tingkat kolektabilitas yang ingin dicapai yakni 61%, menurutnya, angka tersebut sudah terbilang tinggi. Pasalnya bila dibandingkan dengan negara lain, kebanyakan kolektabilitas iuran peserta mandirinya hanya dibawah 50%.

"Kita berharap target itu bisa tercapai, target 61% cukup tinggi, kalau kita benchmark negara lain itu tinggi parameternya. Di Korea Selatan, mereka kolektabilitasnya masih dibawah 50% untuk PBPU, jadi punya kita jauh lebih baik," tuturnya.

Selain mengandalkan layanan digitalisasi, Iqbal juga berharap pemerintah dapat berpartisipasi aktif untuk mendorong tingkat kepatuhan dan kedisiplinan membayar iuran peserta mandiri, misalnya dalam hal penguatan penegakan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013 sudah jelas disebutkan bahwa apabila pemberi kerja dan peserta tidak patuh dapat dikenakan denda dan sanksi-sanksi.

Dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 dari PP tersebut sanksi itu meliputi tidak mendapat pelayanan publik tertentu seperti perizinan terkait usaha, izin yg diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing dan izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh serta izin mendirikan bangunan (IMB).

Sementara sanksi yang dikenakan kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan PBI juga akan terganjal perizinan seperti mengurus IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor hingga pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor atau STNK.

"Cuma ujungnya balik kesitu karena tidak ada sanksi apa-apa, sanksinya yang dikenakan hnya denda kadang orang punya uang tapi enggak mau bayar kalau diingatkan. Kan law enforcement-nya belum ada kalau untuk kepatuhan mmbayar secara rutin," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: