Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri rentan mengalami masalah hukum, terutama dari TKI sektor domestik/rumah tangga. Sebut saja salah satu kasus yang sempat menyita banyak perhatian publik, yakni Tuti Tursilawati, TKI asal Majalengka, Jawa Barat yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga di Arab Saudi.
Tuti Tursilawati mengalami nasib naas dengan pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang diterapkan kepadanya di negara tersebut. Bahkan, menurut Ricky Rachmadi, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Ekokraf dan juga Pemerhati Ketenagakerjaan, kasus pelaksanaan hukuman mati ini tergolong mengecewakan dari sisi hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi. Hal itu karena sebelumnya tak pernah dilakukan pemberitahuan (notifikasi) terkait penerapan hukuman itu. Karuan, nasib Tuti pun berakhir dalam pancungan hingga nyawanya tak tertolong sama sekali setelah sekian lama terlebih dulu mendekam di penjara.
Baca Juga: Cegah TKI Ilegal ke Timur Tengah, Pemerintah Didesak Segera Terapkan Sistem Satu Kanal
Lanjut Ricky, dalam keterangan tertulis yang didapat di Jakarta, Kamis (10/10/2019), kejadian seperti yang dialami Tuti, juga TKI lainnya, secara tidak langsung disebabkan sistem rekrut calon TKI sejak di tanah air, yang sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan pengerah jasa TKI.
Perekrutan model sepihak ini pada umumnya hanya menempatkan perusahaan pengerah jasa TKI terlalu bebas sekaligus tidak mengikuti kepatuhan berdasarkan kewenangan aturan main ataupun dengan mengedepankan ketaatan terhadap perundang-undangan dalam mengupayakan proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, terutama terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Dalam kaitan inilah TKI sektor domestik/rumah tangga di luar negeri selamanya akan diposisikan sebagai korban.
Akibat mengabaikan peran dan fungsi BNP2TKI ini pula, pada akhirnya berbagai permasalahan TKI muncul baik saat proses pra penempatan, penempatan, atau saat masa perlindungan TKI di luar negeri. Inilah akibat sistem rekrut calon TKI sudah bermasalah dari awal karena pelaku usaha jasa TKI cenderung berkiblat untukĀ mendahulukan keuntungan/kepentingan perusahaan pengerah terkait jasa TKI. Pada sisi lain, hal itu dapat merusak kemartabatan TKI untuk dalam mendapatkan perlindungan yang optimal, baik hak-hak ataupun pembelaan atas berbagai kasusnya dengan sebenar-benarnya.
Tentu saja diharapkan, mengacu kepada Undang-Undang Baru No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, ke depan harus terus diupayakan skala prioritas dengan memperkuat penempatan TKI sektor formal berpendikan/berkeahlian sehingga secara perlahan akan mampu mengurangi penempatan TKI sektor domestik/rumah tangga yang memang rawan dengan masalah hukum/kasus hukum/risiko penganiyaan baik kekerasan seksual ataupun fisik. Dengan menggesa penempatan TKI sektor formal berpendikan/berkeahlian, langkah pemartabatan TKI akan mudah diselenggarakan/terwujud. Selain itu, hal tersebut akan mencipatakan rasa aman bagi TKI, termasuk bagi penyelenggara negara yang mengurus TKI dan juga untuk pihak pemerintah RI di sejumlah negara penempatan melalui wadah perwakilan RI masing-masing.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Puri Mei Setyaningrum
Editor: Puri Mei Setyaningrum