Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan total 4.984 Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang industri. Dari jumlah tersebut, 113 di antaranya ditetapkan sebagai SNI wajib hingga semester I-2019.
"Kalau kita memberlakukan SNI wajib itu harus ada alasannya. Alasannya faktor keamanan, kesehatan, dan lingkungan. Kalau itu terbukti mengganggu maka dia (barang industri) bisa wajib," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kemenperin, Ngakan Timur Antara, di Jakarta, belum lama ini.
Baca Juga: Kemenperin Pede 5 Sektor Manufaktur Bakal Kerek Ekonomi Nasional
Dia menyampaikan, apabila sebuah SNI dinyatakan wajib maka pemerintah Indonesia harus melapor ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan membawa bukti-bukti pendukung.
Selain itu, lanjut Ngakan, pemerintah perlu membangun infrastruktur standar apabila sebuah SNI ditetapkan wajib, yakni adanya lembaga sertifikasi, laboratorium uji, asessor, hingga pengambil sampel.
"Faktor-faktor itu harus ada semua. Kalau salah satu tidak ada, itu akan memberikan feedback yang kurang baik," ujarnya.
Ngakan menjelaskan, pada tahun 1994, Indonesia secara resmi meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the WTO. Artinya, Indonesia harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk mampu menghadapi sebuah era globalisasi dengan suasana persaingan perdagangan yang semakin ketat.
"Hal tersebut juga menimbulkan konsekuensi bahwa segala bentuk hambatan perdagangan khususnya hambatan tarif secara bertahap harus diturunkan," ungkapnya.
Menurut dia, instrumen yang umumnya dilakukan di Indonesia adalah melalui pemberlakuan SNI secara wajib, yang fokus utamanya untuk produk-produk yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan (K3L).
"Standardisasi industri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat berfungsi ganda, yaitu untuk meningkatkan akses pasar luar negeri dan menekan laju impor," katanya.
Selain itu, standardisasi sering dijadikan sebagai ukuran pemenuhan terhadap persyaratan akses pasar di suatu negara tujuan ekspor. Ngakan memaparkan, kebijakan regulasi teknis berbasis standardisasi juga diimplementasi negara-negara lain, yang diperbolehkan melalui perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan atau technical barriers to trade (TBT) dari WTO.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: