Konferensi pers yang digelar Universitas Indonesia (UI) mengenai kasus diskusi BEM UI #PapuanLivesMatter beberapa hari lalu, dinilai terdapat banyak pelanggaran. Selama berlangsung, diskusi mengandung unsur berbeda pendapat yang ekstrim, dikhawatirkan memantik isu rasial.
Demikian diungkapkan Michael Manufandu, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia kepada wartawan (16/6/2020). Diakuinya, diskusi tersebut merupakan hak masyarakat pada kebijakan pemerintah mengenai kebebasan berpendapat. Namun, ada peraturan dan etika publik sebagai ukuran agar masyarakat sopan santun dalam tutur kata dan memberikan pendapat yang mempunyai nilai realistis.
Menurutnya, UI mempunyai aturan berlaku, untuk membina mahasiswa. Organisasi BEM UI harus berjalan sesuai aturan, dalam setiap organisasi harus ada hierarki. UI dengan berbagai perangkat pimpinan atau rektornya mempunyai kewenangan untuk menghasilkan produk mahasiswa yang bagus, bernilai tinggi, dan berkarakter.
Baca Juga: Jokowi Kalah, Pemerintah Terbukti Sengaja Tutupi Kejahatan Genosida di Papua?
"Karena itu, perlunya teguran, peringatan, sanksi dan lain-lain, agar dapat mengevaluasi diskusi yang menyebabkan dampak yang meluas di ranah publik. Kebebasan berpendapat harus diatur agar tidak menyalahi aturan yang berlaku," ujar Michael.
Terkait dugaan pelanggaran dalam diskusi #PapuanLivesMatter, ketika pimpinan universitas melihat adanya pertentangan, akan diberikan sanksi tersendiri. Kebebasan akademisi harus berpikir realistis berpikir bagaimana dampak yang akan terjadi.
"Pimpinan harus melihat bagaimana ke depan dampak tersebut, sebagaimana acara yang sama," imbuh Michael.
Sementara Cudry Sitompul, Dosen Fakultas Hukum, mengakui terselenggaranya diskusi #PapuanLivesMatter dinilai peran pembicara tidak mewakili beberapa pihak sehingga acara tersebut tidak komprehensif. Acara tersebut tidak dapat diterima untuk mewakili UI.
Tema yang diangkat oleh BEM UI berkaitan dengan hukum yang tidak bersifat apartheid, mengenai hak-hak manusia. Pemerintah tidak melakukan seperti yang dibicarakan dalam diskusi tersebut.
"Pandangan opini seseorang tertentu berkaitan dengan isu diskusi yang missleading, tidak benar pemerintah melakukan tindakan kekerasan ke Papua. Hal tersebut hanya tindakan hukum yang dilakukan pemerintah menangani Papua," ungkapnya.
Cudry juga menyayangkan, BEM UI mengadakan diskusi yang isinya tidak ada kaidah ilmiah, rujukan-rujukan, dan teori-teori. Dalam sebuah diskusi, seharusnya apa yang disampaikan harus ada ilmunya sehingga tidak membawa dampak buruk terhadap instansi dan publik.
Menurutnya, diskusi yang hanya pendapat pribadi dan bukan cara ilmiah, substansi tersebut tidak dapat diterima sepenuhnya dan perlu diteliti. Hal tersebut dapat menjadi fitnah bagi pemerintah yang cenderung membawa isu rasisme.
Mahasiswa UI tidak seharusnya melakukan pembahasan tersebut tanpa ada dasar-dasar dan metodologi ilmiah. Diskusi adalah kebebasan pendapat atau biasa disebut kebebasan akademik dalam lingkup universitas. Jika hal tersebut adalah kebebasan akademik, harusnya membawa hal ilmiah dan metodologinya. "Kalau seperti diskusi yang lalu, berarti hanya sekadar orasi mahasiswa," imbuh Cudry.
Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan KIP UI, mengatakan BEM UI sudah mengajukan perizinan untuk mengadakan diskusi #PapuanLivesMatter, tapi surat baru diterima Direktorat Mahasiswa pukul 11.00 WIB dan kegiatan dilaksanakan pukul 19.00 WIB. Pihak Dirmawa sudah memberikan saran berdasarkan narasumber yang terlihat hanya satu pihak perlu dievaluasi, untuk mengikuti sertakan pihak pro dan kontra sehingga acara terselenggara dengan baik.
"Namun, acara tersebut tetap berlangsung sesuai jadwal. Pihak Dirmawa sudah memberikan tanggapan, namun tidak ada lagi komunikasi dengan pihak BEM UI," ujar Amelita.
Emelita juga mengatakan, ketika diskusi publik hanya ada narasumber satu pihak, maka perlu dievaluasi kegiatan tersebut agar tidak terjadi pro dan kontra di masyarakat atau ranah publik. Diskusi yang baik perlu ada perbedaan pendapat, sehingga tidak seperti diskusi #PapuanLivesMatter. "Perlu ada pembanding dari pihak pro dan kontra," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Wawan Hari Purwanto, Deputi-VII BIN, mengatakan bahwa kasus rasialisme di Indonesia tidak bisa disamakan dengan yang ada di Amerika. Hal tersebut tidak ada kaitannya. Perlu melihat situasi dengan proporsional, kasus Papua juga sudah selesai di ranah PBB. Mengkritisi tidak bermasalah, namun yang sudah disahkan tidak perlu dipermasalahkan kembali.
Baca Juga: Gelontorkan Rp139 Miliar, Orang Terkaya Dunia Dukung Black Lives Matter, Bukan All Lives Matter
Menurutnya, pada dasarnya Pemerintah Indonesia telah membangun wilayah Papua dengan kecepatan tinggi dan infrastruktur yang lebih baik. Produk objek vital nasional dan sarana prasarana sudah ditujukan untuk masyarakat Papua.
Opini publik yang terus diusung perlu dipertimbangkan dengan baik, harus mengikuti aturan dan jangan sampai melanggar. Institusi UI sudah seharusnya memahami hal tersebut untuk mengadakan sebuah diskusi, harus diimbangi dengan kedua sisi, pro dan kontra, tidak hanya satu sisi.
"Saat ini kita menuju ke masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Solusi untuk pembangunan Papua ke depan untuk tampil lebih menarik dan menyejahterkan masyarakat Indonesia," tegas Wawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: