Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Influencer Jadi Rujukan Publik, Pesannya Dinilai Lebih Mengena

Influencer Jadi Rujukan Publik, Pesannya Dinilai Lebih Mengena Kredit Foto: MPR

Hendri mencontohkan Raffi Ahmad yang memiliki 44 juta pengikut di Instagram, sehingga dipastikan memiliki pengaruh signifikan jika dibandingkan dengan misalkan media surat kabar alias koran dimana untuk mendapatkan pelanggan dua juta saja sudah sangat sulit ditemukan. 

“Ketika ada seorang punya 40 juta pengikut, itu sudah melebihi media," imbuhnya. 

Menurut dia, influencer sangat berbeda dengan buzzer. Influencer memiliki rekam jejak, pengikut jelas, juga punya tanggung jawab moral. Sementara buzzer, hanya mengikuti arahan pemberi kerja.  Karena itu, di era Covid-19, justru perlu lebih banyak influencer untuk menyampaikan pesan agar saling menjaga, terlebih ada 175 juta orang Indonesia yang butuh literasi digital.  

Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers menambahkan, penggunaan influncer tidak ada masalah secara hukum selama ada transparansi, dalam arti jelas dipesan oleh siapa dan kontennya juga sesuai. Kemudian, digunakan untuk isu-isu non kontroversial, lebih edukasi publik, seperti kampanye pencegahan Covid-19, dan tidak ada yang dirugikan.  

“Gunakan influencer silakan saja, bahkan sudah saatnya. Akan lebih baik bermain di isu publik, bukan kontroversi,” ucapnya.  

Yose Rizal, Pendiri Mediawave menambahkan, ia merasa heran jika ada tagar dukungan ke pemerintah, seringkali diasosiasikan ada relasi transaksional. Padahal, dari fakta yang ada dukungan ke pemerintah pun banyak yang organik. Bahkan data Mediawave, dari 1 Januari 2008 hingga 31 Mei 2020, terdapat 3,3 twit dukungan ke pemerintah, dan 9 juta twit yang mengkritik. 9 juta twit itu juga diorkestrasi. Artinya ada tiga kali lipat yang menyerang pemerintah. 

“Influencer yang mendukung pemerintah, dideligitimasi menjadi buzzeRp, padahal ini kurang etis. Bahkan artis yang mendukung isu tertentu dijelekkan, disebarkan seolah yang dilakukan salah. Justru menggunakan influencer, menggunakan saluran media baru, anggaran lebih kecil, menggemat APBN, ketimbang iklan di TvV” ucapnya. 

Seringkali juga dilupakan, mereka yang menyerang tokoh negara, misal Presiden, tidak pernah dikupas tuntas media, siapa saja mereka, siapa yang membiayai, apa kepentingannya. Padahal lambang negara seringkali dijelekkan dengan tidak pantas. Dan notabene itu melanggar hukum.  Dan di Indonesia, negara pun tidak ambil tindakan berlebihan. 

“Jelas di sini bahwa Indonesia tidak berada di satu negara otoriter,” ujarnya.  

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: