Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Politik Malaysia Krisis: Pembungkaman Media Merebak

Politik Malaysia Krisis: Pembungkaman Media Merebak Kredit Foto: Reuters
Warta Ekonomi, Kuala Lumpur -

Dunia politik Malaysia kembali digoyang krisis, di tengah merebaknya wabah virus Corona. Di tengah catatan angka penularan yang tengah tinggi, nampaknya wabah tidak menghentikan kacaunya dunia politik Negeri Jiran ini.

Pada Senin (5/10/2020), jaringan media Amerika Serokat (AS) ABC mencatat, ada 432 kasus baru di Malaysia. Menteri Agama (Menag) Zulkifli Mohamad al-Bakri pun termasuk pasien positif. Alhasil, Perdana Menteri (PM) Muhyiddin Yassin harus melakukan karantina mandiri selama 14 hari ke depan karena sempat melakukan kontak dengan sang Menag.

Baca Juga: Segala Upaya Dilakukan, Jabatan buat Anwar Ibrahim Tak Juga Datang

"Saya akan tetap bekerja dan melakukan rapat via video," ujar PM Muhyiddin dikutip Reuters, Senin (5/10/2020). Tentu saja, Muhyiddin tidak punya waktu untuk bersantai.

Tokoh oposisi Anwar Ibrahim, yang akhir September kemarin mengklaim memiliki dukungan mayoritas parlemen dan mengaku berhak jadi PM, masih membayang-bayangi pemerintahannya.

Klaim Anwar ini diamini Raja Malaysia, Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah. Meski ternyata, Yang Dipertuan Agung kebetulan tengah menjalani perawatan akibat keracunan makanan. Jadi, pertemuan Anwar dengan sang raja pun terpaksa dilakukan lain waktu.

Dulu, saat Muhyiddin diangkat jadi PM, Raja Malaysia melakukan tatap muka dengan seluruh 221 anggota parlemen untuk memastikan, klaim bahwa dia didukung mayoritas parlemen.

Kemungkinan, hal ini juga yang bakal dilakukan raja untuk memastikan klaim Anwar. Tapi, langkah ini masih belum dilakukan. Berbagai spekulasi pun bermunculan.

"Saya merasa kalau tidak semua orang di UMNO (United Malays National Organisation -red) atau partai politik lain benar-benar mendukung Anwar," ujar analis dari badan survei Malaysia, Merdeka Centre, Ibrahim Suffian, kepada ABC.

"Anwar tidak pernah menunjukkan atau menyebut siapa saja yang mendukungnya. Mungkin Anwar mau merahasiakannya sampai bertemu raja. Ini saatnya menunggu dan melihat, apakah Anwar benar-benar memiliki dukungan mayoritas seperti klaimnya,” lanjut Ibrahim.

Sampai klaim itu terbukti, Muhyiddin tetap menjadi PM Malaysia yang sah. Hasil pemilu legislatif di Sabah, yang memenangkan partai yang mengusung Muhyiddin, membuat orang-orang meragukan klaim Anwar.

Selagi dunia politik Malaysia memanas, jumlah kasus Covid-19 juga tidak kunjung membaik. Di saat yang sama, Pemerintahan Muhyiddin tidak memiliki Menteri Kesehatan (Menkes). Pasalnya, Menkes yang berada di pemerintahan Mahathir Mohamad mengundurkan diri saat Muhyiddin naik menjadi pemimpin.

Namun, Malaysia masih terhitung lumayan dalam penanganan penyebaran virus Corona. "Di Malaysia kini ada dua isu yang harus ditangani. Satu hal adalah partai politik dan satu lagi kontrol pandemi," ujar Profesor dari Monash University Malaysia, Sin Yee Koh.

"Sejauh ini, urusan kesehatan masih bisa mengandalkan uji laboratorium, tracing pasien positif dan melakukan pembatasan gerak," lanjutnya.

Namun, akibat pemilihan legistlatif (pileg) di Sabah bulan lalu membuat adanya klaster penularan baru. Meski partai politik pendukung Muhyiddin berhasil unggul, Malaysia dinilai nekat kalau akan melakukan pemilu sela.

Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah mengingatkan, akan adanya gelombang penularan baru, jika tidak ada penanggulangan serius dari pemerintah.

Mahathir Mohamad sudah mengingatkan, bahwa pemilu sela hanya akan membahayakan warga.

"Kalau pemilu dilakukan segera, saya khawatir akan makin banyak orang tertular Covid-19. Makin banyak yang mati. Prioritas kita sekarang ini politik atau keselamatan rakyat?" ujarnya kepada kantor berita Bernama pekan lalu.

Sementara itu, banyak yang mengkhawatirkan otoritas Malaysia menggunakan alasan kesehatan untuk melakukan intimidasi. Sejumlah kritikus melihat, Malaysia sepertinya kembali ke era dimana mereka yang kritis akan menghadapi konsekuensi hukum dari pemegang kekuasaan.

Pada 2014 lalu, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Najib Razak, kantor Malaysiakini, portal berita online yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, Melayu, Cina, dan Tamil, dilempari cat merah sebagai tindakan intimidasi pada jurnalis yang dianggap menulis berita kritis kepada pemerintahan.

Kini, Editor in Chief Malaysiakini, Steven Gan harus menghadapi ancaman kurungan penjara, karena kantor beritanya mengutip postingan warga Malaysia yang isinya mengkritisi hukum Malaysia. Komite Perlindungan Jurnalis Malaysia menyebut hukuman untuk Gan sebagai "akal-akalan" dan mendesak otoritas Malaysia berhenti menggunakan ancaman hukuman untuk mengintimidasi media.

Sejumlah langkah otoritas Malaysia yang dianggap mengintimidasi media adalah dengan tidak memperpanjang visa sejumlah jurnalis Australia di kantor berita Qatar, Al Jazeera.

Kantor berita ini sempat membuat dokumenter soal penanganan pekerja migran yang kasar dan penggerebekan di tengah lockdown pandemi Covid-19. Hingga, kantor beeita Al Jazeera di Kuala Lumpur pun digrebek polisi Diraja Malaysia, tanpa alasan yang jelas.

Managing Director Al Jazeera English, Giles Trendle mengatakan, penggerebekan kepolisian Malaysia sebagai tindakan ekstrim yang tidak pantas.

"Mereka mengirim pesan mengerikan dan berusaha membataai kebebasan media," ujarnya keapada ABC.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: