Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Utang Indonesia Bengkak, JK: Bisa-Bisa 40 Persen APBN Cuma untuk Bayar Bunga dan Cicilan

Utang Indonesia Bengkak, JK: Bisa-Bisa 40 Persen APBN Cuma untuk Bayar Bunga dan Cicilan Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi -

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), ikut menyoroti kondisi keuangan negara selama pandemi Covid-19.

Minggu (27/12/2020) malam, JK menjadi keynote speaker Webinar Dewan Pakar Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI) berjudul Masalah Strategis Kebangsaan dan Solusinya. Selain JK, sejumlah mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir di antaranya Menko Polhukam Mahfud MD, eks Ketua DPR Akbar Tandjung, hingga politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia.

Baca Juga: JK Sebut Ekonomi RI Mulai Bergerak Menuju Zona Positif karena...

JK yang juga Ketua Dewan Etik Majelis Nasional KAHMI menyebut, persoalan ekonomi, utamanya masalah utang pemerintah menjadi yang paling sulit dihadapi Indonesia selama pandemi. Menurutnya, defisit APBN 2020 yang saat ini sudah menembus Rp1.000 triliun merupakan yang terbesar dalam sejarah. Hal ini pun dinilai akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Dengan melebarnya defisit anggaran, kata JK, maka pada tahun berikutnya ada kemungkinan sekitar 40 persen dari APBN hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang.

"Masalah berikutnya, bisa-bisa 30-40 persen anggaran kita di tahun berikutnya, hanya untuk membayar bunga dan mencicil utang. Itu yang kita hadapi," kata Ketua Dewan Masjid Indonesia ini.

Apa saran JK? Eks Ketum Golkar ini menilai, menyelesaikan pandemi merupakan langkah utama yang harus dilakukan. Caranya, dengan vaksinasi. Namun, hal ini cukup menantang dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

JK mencontohkan Amerika Serikat. Kata JK, Amerika yang adidaya saja hanya mampu melakukan vaksinasi 100 ribu orang per hari. Maka, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, tentu akan butuh waktu yang lama.

"Kalau 70 persen saja penduduk yang divaksin maka harus 100 ribu perhari, prosesnya membutuhkan waktu sekitar 4 tahun. Kalau mau selesai setahun, ya 1 juta sehari," tukasnya.

Benarkah prediksi JK soal kocek negara yang tekor sampai Rp1.000 triliun? Dilihat dalam APBN kita per akhir November 2020, defisit anggaran mencapai Rp883,7 triliun atau setara dengan 5,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut meningkat signifikan dari periode yang sama tahun lalu Rp369,9 triliun atau setara 2,34 persen dari PDB.

Defisit anggaran sudah mencapai 85 persen dari target yang ditetapkan dari Perpres 72 tahun 2020 yang sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara untuk bunga utang, tahun ini pemerintah menargetkan pembayaran sebesar Rp338,8 triliun dan sebesar Rp373,3 triliun di 2021. Tahun depan, defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp1.006,4 triliun atau setara 5,7 persen dari PDB.

Eks Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah ikut mengomentari pernyataan JK tersebut. Lewat akun Twitternya, Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini meminta Kementerian Keuangan untuk jujur menjawab pernyataan JK.

"Admin @KemenkeuRI yang bertagar #UangKita perlulah menjawab nasib keuangan kita tahun depan. Ini yang bicara Wapres dua periode dan dua presiden," cuit Fahri.

Baca Juga: Utang Luar Negeri Indonesia Hampir Rp6.000 Triliun, Bahaya Gak Ya?

Dalam cuitan lain, eks politisi PKS ini mengatakan poin yang disampaikan JK bahwa Covid-19 ini bikin beban defisit terberat dalam sejarah ekonomi Indonesia.

"Sekarang kita cari jalan bersama. Sebelum itu, pemerintah harus jujur bahwa lagi berat atau jangan-jangan saking hebatnya kabinet ini ternyata anteng-anteng saja," sindir Fahri.

Ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, menyebut ini bukan pertama kalinya JK mengingatkan soal bahaya utang. Pada tahun 2016, politikus senior Golkar itu juga mengingatkan menteri keuangannya bahwa utang sudah mengkhawatirkan. Hitungannya, saat itu anggaran utang dan bunganya mencapai Rp500 triliun.

"Yang lebih paham ekonomi adalah wapres dan pantas mengingatkan. Tapi peringatan ini diabaikan dan dengan Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan malah ditabrak dengan defisit semaunya," ulas Didik saat dihubungi.

Dia menjelaskan, dalam RAPBN 2020, anggaran utang hanya Rp651 triliun. Namun, demi alasan pandemi, angka tersebut naik menjadi Rp1.530 triliun. Angka ini tiga kali lipat dari anggaran total pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di awal periodenya.

"Jadi praktik kebijakan memutuskan anggaran sekarang ugal-ugalan," kritik Didik.

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengakui defisit saat ini merupakan yang tertinggi. Namun perlu diingat, kondisi ini merupakan dampak pandemi. Akibatnya, ekonomi melambat, penerimaan pajak turun, belanja naik, sehingga pembiayaan meningkat.

"Kita melebarkan defisit demi menyelamatkan rakyat dan perekonomian dari pandemi," katanya.

Yustinus menjelaskan, soal defisit, pemerintah dan DPR sudah sepakat melebarkan angkanya hanya sampai 2022. Sehingga pada 2023 kembali ke bawah, 3 persen. Dengan begitu, disiplin fiskal dijalankan sungguh-sungguh. Kemenkeu juga terus menjaga agar rasio utang tetap sehat dan memperhitungkan sustainabilitas.

"Bersyukur kita burden sharing dengan Bank Indonesia sebagai beban bunga relatif ringan," katanya.

Baca Juga: Bantu Danai APBN, BI Beli SBN Hingga Rp473,42 Triliun

Lantas, apa yang dilakukan pemerintah agar defisit tidak semakin melebar? Kata Yustinus, pemerintah sudah membatasinya sampai dengan 2022, seiringan pemulihan ekonomi. Belanja tetap didisain efisien dan fokus pada penanganan dampak pandemi. Penerimaan pajak sebagai andalan akan membaik seiring membaiknya perekonomian.

"Maka sekarang fokus ke perbaikan regulasi dan administrasi," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: