Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Melawan Stigma: Penyintas Covid-19 Tak Butuh Cibiran Apalagi Pengucilan

Melawan Stigma: Penyintas Covid-19 Tak Butuh Cibiran Apalagi Pengucilan Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahun 2020 menjadi begitu berbeda dengan hadirnya pandemi Covid-19. Wabah virus corona tersebut pun telah menjelma sebagai sumber dari berbagai permasalahan, mulai dari kesehatan hingga perekonomian. Tak kalah genting, pandemi Covid-19 nyatanya turut memunculkan permasalahan sosial, yakni stigmatisasi yang secara definitif berarti pencirian negatif pada seseorang.

Stigmatisasi acap kali diterima oleh seseorang yang mengalami gejala maupun yang dinyatakan positif terpapar virus Covid-19. Lebih parahnya lagi, stigmatisasi atau asosiasi negatif tersebut bahkan dialami pula oleh keluarga para penyintas Covid-19. Hasil survei yang dilakukan LaporCovid-19 dan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi UI terhadap 181 responden pada Agustus 2020 lalu menunjukkan fakta demikian. Baca Juga: Liburan Bikin Covid-19 Naik hingga 100%, Yuk Tahun Baru di Rumah Aja: Aman Tanpa Jalan-Jalan

Stigmatisasi yang dialami oleh orang dengan gejala, penyintas, dan keluarga penyintas Covid-19 diterima dalam berbagai wujud. Perlakuan seperti menjadi buah bibir atau digosipkan, dikucilkan, dirundung di media sosial, diusir, hingga dilarang menggunakan fasilitas umum adalah beberapa contoh stigmatisasi yang sering terjadi di masyarakat.

Sebanyak 55% responden dalam survei tersebut mengaku dijadikan buah bibir atau perbincangan oleh orang-orang di sekitar mereka lantaran status mereka terkait Covid-19. Lebih lanjut, 33% responden mengaku mendapat stigmatisasi dalam bentuk dijauhi atau dikucilkan, 25% responden mengaku mendapat julukan sebagai penyebar atau pembawa virus, sedangkan hampr 10% responden mengaku pernah mengalami perundungan di media sosial. Baca Juga: FKUI Gandeng Pakar Beri Saran Sehat dan Tata Laksana Jenazah di Masa Pandemi Covid-19

Seperti yang disinggung sebelumnya, stigmatisasi tidak hanya diterima oleh orang dengan gejala dan penyintas Covid-19, tetapi juga oleh keluarga. Sejumlah 42% keluarga responden mengaku pernaj dijadikan buah bibir atau digosipkan, 27% dijauhi atau dikucilkan, 15% dijuluki pembawa dan penyebar virus, sedangkan 7% lainnya pernah ditolak untuk mendapat dan menggunakan layanan fasilitas umum.

Perilaku masyarakat berkaitan dengan stigmatisasi terhadap penyintas Covid-19 juga tergambar melalui survei Perubahan Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020 lalu. Meski porsinya tidak terlalu besar, survei menunjukkan bahwa 7% dari 90.967 responden masih berperilaku mengucilkan dan memberikan stigma negatif kepada penyintas Covid-19. Sementara itu, 45% di antaranya mengaku lebih memperketat protokol kesehatan ketika ada orang di sekitarnya yang terpapar Covid-19. Kemudian, 22% lainnya lebih memilih untuk memberikan dukungan kepada penyintas tersebut.

Fenomena stigmatisasi terhadap penyintas Covid-19 ini diamini pula oleh Psikiater sekaligus Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas, dr. Hervita Diatri. Secara sederhana, Hervita mendefinisikan stigma sebagai pemberian label kepada seseorang atau sekelompok orang karena sesuatu yang membuat orang tersebut berbeda dari orang lain.

Ada sejumlah alasan yang memicu timbulnya stigma tersebut, salah satunya adalah ketakutan akan tertular virus dari orang yang terinfeksi Covid-19. Ketakutan tersebut kemudian membuat seseorang mengambil jarak hingga akhirnya penyintas Covid-19 menjadi dijauhi dan dikucilkan. Memang, karakteristik virus coron ini mudah menyebar dari manusia ke manusia melalui tetsan cairan atau droplet ketika berbicara, bersin, dan batuk. Namun, itu bukanlah alasan untuk memberi perlakuan yang berlebihan kepada penyintas. 

"Kadang gak cuma dijauhi, bahkan sampai (jadi sasaran) kemarahan karena (anggapan) 'kamu akan membawa risiko kepada saya, kamu adalah sumber penularan, kamu berisiko untuk saya, kamu mengancam untuk saya.' Akhirnya, kita melakukan sesuatu yang menjauhkan diri kita (dengan penyintas), komunikasi gak mau, bahkan kadang kekerasannya sampai fisik," tegas Hervita dalam talkshow bertema "Stop Stigma: Sebar Cinta Saat Pandemi" dilansir pada Rabu, 30 Desember 2020.

Padahal, Hervita menekankan bahwa penyintas Covid-19 beserta keluarga membutuhkan dukungan dari orang sekitar sehingga daya tahan tubuh tidak menurun. Sepakat dengan Hervita, Anggota Subbidang Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, dr. Retno Asti Werdhani, menegaskan bahwa stigma negatif akan berdampak kurang bagi pasien Covid-19. 

Ia menuturkan, adanya stigma tak jarang membuat pasien lebih menutup diri sehingga akan menyulitkan dalam penanganan Covid-19, khususnya ketika menelusuri kontak erat dari pasien tersebut.

"Stigma terjadi di level individu, keluarga, komunitas, bahkan organisasi. Ini tidak bagus. Bahayanya, kalau kontak erat ini tidak terbuka dalam memberikan informasidan tidak bisa kooperatif bekerja sama dengan kami, kemudian mereka berpotensi untuk menjadi sumber infeksi berikutnya," pungkas Asti.

Dengan memahami hal itu, Asti mengimbau masyarakat untuk tidak lagi memberi stigma kepada penyintas Covid-19. Terlebih lagi bagi mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19 jangan sampai menerima stigma karena dianggap masih membawa virus dalam tubuhnya. Empati, itulah yang sebaiknya dilakukan masyarakat terhadap penyintas dan pasien yang sudah sembuh dari virus corona, bukan justru mengucilkan.

"Kita pun jika distigma seperti itu, tidak enak rasanya," tegasnya lagi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: