Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gak Cukup Cuma Dibubarkan, FPI Butuh...

Gak Cukup Cuma Dibubarkan, FPI Butuh... Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Pemerintah resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI) dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI.

Menanggapi hal itu, Guru Besar Politik dan Keamanan Unpad Prof Muradi mengatakan, sejak tahun 2019, FPI sudah akan dibubarkan, tetapi pemerintah belum tegas terhadap hal tersebut.

Baca Juga: Gercep! Markas FPI Langsung Digeruduk Polisi-TNI Sore Ini

"Saya kira perlu langkah yang lebih sistematis sehingga pergerakan FPI tidak terlalu luas," kata Muradi kepada wartawan usai mengikuti diskusi akhir tahun dengan tema Refleksi 2020 & Outlook 2021 yang dibelah oleh Indonesia Politic Research and Consulting (IPRC) di Bandung, Rabu sore (30/12/2020).

Sejak Menkopolhukam Mahfud MD membahas pembubaran FPI, harus tegas dibubarkan. Pasalnya, FPI hanya sebuah organisasi, sama seperti ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan maka orang-orangnya akan bergabung dengan organisasi yang lain.

Muradi menyebutkan, target pembubaran FPI bukan sebatas organisasi, melainkan menghilangkan karakteristik radikal seperti tidak mengakui keberadaan pemerintah. Untuk itu, harus segera diterbitkan Surat Edaran (SE) dari Kemendagri sebagai pembina ormas daerah. Surat tersebut dikirimkan ke kepala daerah supaya meminta pengendalian ormas tersebut.

Selain itu, dibutuhkan juga peran TNI dan Polri dalam memperkuat hukum. Artinya, dari segi legalnya sudah ada tinggal menjalankan berbagai fungsi yang detail. "Jadi, langkah pemerintah untuk membubarkan FPI sudah benar," ujarnya.

Muradi menilai, FPI masih memiliki langkah legal lainnya, misalnya dengan mengajukan banding ke pengadilan bahkan bisa lebih memungkinkan ke depan bukan hanya berbentuk ormas. "Tapi saya kira dengan berbagai data yang dimiliki pemerintah butuh kerja keras untuk tetap eksis karena melihat kasus HTI sempat mengajukan banding ke pengadilan yang kemudian kalah," jelasnya.

Dia juga menegaskan bahwa pemerintah harus lebih serius dalam menangani kasus ini. Artinya, jangan hanya sebatas level pusat saja, melainkan lebih menyeluruh ke level daerah. Sebab, melihat kejadian HTI, meski sudah dibubarkan, mantan anggotnya sekarang sudah melebur dalam organisasi lain.

"Justru ini yang lebih mengkhawatirkan dalam menjaga NKRI karena karakteristiknya yang dianggap radikal," ujarnya.

Muradi menegaskan, langkah pemerintah dalam pembubaran FPI sudah tepat karena organisasi tersebut diduga sudah ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti sekelompok orang yang antipemerintah. "Rerata mereka membonceng ke arah yang lebih melawan negara seperti radikal dan sebagainya," ungkapnya,

Sementara itu, dalam diskusi akhir tahun dengan tema Refleksi 2020 & Outlook 2021 ini terungkap bahwa kaum milenial belum terlalu dilibatkan dalam perpolitikan nasional. Saat ini, peran generasi muda hanya sebatas partisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, seperti datang ke tempat pemungutan suara untuk mencoblos.

"Sementara, representasi milenial dalam jabatan-jabatan strategis di politik hingga kini masih minim setelah berapa kali pilkada maupun pemilu," kata founder Bandung School of Democracy, Fahmi Iss Wahyudi.

Meski tak ada perhelatan pilkada maupun pemilu pada 2021, Fahmi menginginkan kaum milenial bisa bertarung dalam memperebutkan posisi-posisi strategis, baik di daerah maupun pusat, sehingga generasi muda bisa memberikan warna baru maupun penyegaran di birokrasi serta perpolitikan nasional.

"Langkah yang kita lakukan adalah memberikan kesadaran kepada anak muda bila politik itu penting, bahwa politik itu mengurus nasib banyak orang," ujarnya.

Meski demikian, dirinya tak menampik sejumlah anak muda telah menunjukkan eksistensinya di kancah politik nasional, seperti beberapa staf khusus presiden yang usianya masih di bawah 35 tahun. Termasuk pula, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang usianya masih berkisar 30 tahunan.

"Namun, itu sifatnya baru untuk jabatan selected atau dipilih. Kalau untuk yang elected, saya melihatnya belum terlalu banyak. Bahkan, kami melihat pada Pilkada 2020, isu yang keluar adalah politik dinasti atau kekerabatan, di samping hal-hal strategis lainnya," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: