Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

IBSW Sepakat dengan Sekjen PDIP, SBY Pura-Pura Terzalimi

IBSW Sepakat dengan Sekjen PDIP, SBY Pura-Pura Terzalimi Kredit Foto: Antara/Olhe
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Politik Birokrasi & Pelayanan Publik dari LSM Indonesia Bureaucracy and Service Watch (IBSW), Nova Andika, ikut merespons pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie, yang mengungkapkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan bahwa Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri kecolongan dua kali saat Pilpres 2004.

Bahkan, pernyataan tersebut memunculkan  tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya, Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menanggapi 'curhatan' Marzuki Ali tersebut. 

Baca Juga: Kuat Dibekingi SBY, Mas AHY Nggak ada Takutnya: Bapak Dibelakang, Mari Kita Lawan..

"Dalam politik kami diajarkan moralitas politik yaitu satunya kata dan perbuatan. Apa yang disampaikan oleh Marzuki Ali tersebut menjadi bukti bagaimana hukum moralitas sederhana dalam politik itu tidak terpenuhi dalam sosok  SBY," kata Hasto.

Terbukti bahwa sejak awal SBY memang memiliki desain pencitraan tersendiri termasuk istilah 'kecolongan dua kali' sebagai cermin moralitas tersebut. 

"Jadi kini rakyat bisa menilai bahwa apa yang dulu dituduhkan oleh SBY telah dizolimi oleh Megawati, ternyata kebenaran sejarah membuktikan bahwa SBY menzolimi dirinya sendiri demi politik pencitraan," katanya, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/2/2021).

Lanjutnya, ia menyebutkan bahwa dengan mempraktekkan teori politik Viktimisasi ini sebenarnya justru membuat SBY terlihat berusaha memanipulasi keadaan dengan tujuan tertentu, yaitu untuk mengkonstruksi kepentingan politiknya sendiri menjelang kontestasi Pilpres tahun 2004 saat itu.

Nova juga menyatakan bahwa ia sependapat dengan ungkapan Hasto, bahwa hal yang dilakukan SBY merupakan sebuah bukti bahwa ia tidak memenuhi dan mempraktekkan hukum moralitas sederhana dalam politik terkait kata dan perbutan yang dilakukannya, sampai bertindak seakan-akan menjadi pihak yang dizolimi Megawati. 

"Saya setuju dengan tanggapan Pak Hasto terkait permasalahan ini," ujar Nova. 

Dengan demikian, Nova mendukung tanggapan Hasto yang substansinya SBY mengeksploitasi politik pencitraan seolah dirinya dizolimi yang bertujuan meraih belas kasih publik.

Nova juga mengungkap bahwa untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari publik luas, tak melulu harus dengan mempraktekkan teori politik Viktimisasi yang pernah diterapkan Partai Demokrat. 

"Karena masyarakat pun kini menjadi lebih kritis dalam menilai praktek kegiatan berpolitik di Indonesia," tuturnya. 

Teori politik viktimisasi dan pencitraan yang tidak essensi adalah potret rapuhnya demokrasi, publik semakin cerdas memahami demokratisasi Indonesia, " ucap Nova.

Keadaan SBY yang merasa menjadi pihak yang dizolimi pun terlihat diikuti polanya dalam kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang tengah mempraktekkan teori politik Viktimisasi atau memposisikan diri sebagai korban dalam isu kudeta Partai Demokrat. 

Analis Politik dan pimpinan Lembaga Survei Nasional (LSN), Umar S. Bakry, mengatakan bahwa dalam ranah politik praktis, para pakar Viktimisasi mengamati korban atau victimhood sering menjadi salah satu posisi politik yang menguntungkan sehingga banyak aktor politik menempatkan diri sebagai victimhood atau sebagai korban. 

Hasto juga mengungkapkan sebuah kisah yang disampaikan oleh Alm. Prof. Dr. Cornelis Lay, bahwa sebelum Pak SBY ditetapkan sebagai Menkopolhukam di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, saat itu ada elite partai yang memertanyakan keterkaitan Pak SBY sebagai menantu Pak Sarwo Edhie yang dipersepsikan berbeda dengan Bung Karno, dan juga terkait dengan serangan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996. 

"Yang mana dalam penetapan Pak SBY sebagai Menkopolhukam ditegaskan oleh Bu Mega bukan karena Pak SBY menantu Pak Sarwo Edhie, namun karena beliau adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Disini terlihat jelas sikap Bu Mega yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan," ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: