Setelahnya UAH mengaitkannya dengan vaksin, thoyyib merupakan kesesuaian dengan tubuh yang divaksin. Itu sebabnya ada efikasi vaksin atau dalam bahasa sederhana disebut ‘kemanjuran’.
Dalam kesempatan itu disebutkan, bagi orang yang mempunyai sakit komorbid, seperti darah tinggi dan diabetes, maka vaksin tidak memenuhi kriteria thoyyib.
Selain kriteria halal dan thoyyib serta halal dan tidak thoyyib, Islam juga membolehkan makanan yang haram, tetapi thoyyib bila terpaksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Alquran.
“… tetapi siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang,” – QS. Al Baqarah (2): 173.
Penekanannya, sesuatu yang haram bisa dikonsumsi dalam kondisi darurat. Namun, jika dihadapkan pada dua pilihan memungkinkan, maka umat Islam tetap harus memilih yang halal.
“Kalau vaksin yang halal enggak ditemukan dari unsurnya dan terdesak sampai mengancam nyawa, maka yang tidak halal boleh dipakai sampai ditemukan yang halal,” jelas UAH.
Lebih lanjut, di akhir kajiannya, UAH membuka Fatwa MUI tentang vaksin Sinovac. Ia meminta persoalan ini dipisahkan dari unsur politik dan lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: