Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tanpa DMO Batubara, Industri Semen Hingga Tekstil Terancam Kolaps

Tanpa DMO Batubara, Industri Semen Hingga Tekstil Terancam Kolaps Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pelaku industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batubara. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah belum juga mengambil kebijakan menyelamatkan industri dalam negeri, justru terkesan membiarkan kondisi ini. 

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat jika pemerintah tidak segera turun tangan dampak bagi industri dalam negeri sangat besar. Selain akan menaikan harga jual produk, kondisi ini bisa berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena biaya energi yang membengkak.

Selama ini, kebijakan capping harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) yang sebesar US$70 per metric ton hanya untuk sektor kelistrikan umum atau hanya untuk PLN saja. Akibatnya, saat harga batubara global melambung seperti sekarang, banyak industri dalam negeri yang selama ini menggunakan batubara seperti industri semen, petrokimia, tekstil, mengalami kesulitan. Pasalnya, hargabatu bara DMO yang mereka beli dari penambang dalam negeri tetap mengacu pada harga global.

“Industri pupuk kemudian industri semen, industri petrokimia, tekstil, merupakan industri-industri yang memang padat energi. Jadi, kalau energinya naik dua kali lipat, ya bisa dibayangkan. Kalau misalnya porsi untuk biaya energi 30%, kalau naik dua kali lipat kan lumayan itu. Ke harga produknya lumayan juga," ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro kepada wartawan, Kamis (21/10).

Apalagi, selama ini mayoritas batubara Indonesia digunakan untuk ekspor. Tahun 2021 ini, dari target produksi 625 juta ton, yang terserap pasar domestik maksimal hanya sekitar 150 juta ton. Artinya, masih ada 450 juta ton lebih yang diekspor. “Jadi, cukuplah dapat untung dari yang 450 juta ton. Sisanya untuk domestik agar daya saing industri dalam negeri lebih bagus,,” ujarnya .

Karena itu, kata Komaidi untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga jual batubara untuk industri non kelistrikan umum. Kebijakan tersebut, setidaknya berlaku selama harga batubara yang saat ini sedang melambung tinggi. 

Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri. Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun impact-nya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan non pajaknya turun juga. “Hal yang sangat dikhawatirkan, kalau harga produk naik dan daya saing lemah, akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan,” tandasnya.

Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level US$70 per metric ton, bisa lebih tinggi misalnya US$80 per ton. “Poinya adalah industri non kelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut.”

Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna. “Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” tambah  Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.

Menurut Widodo, salah satu industri yang cukup besar menggunakan batubara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya. Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30-35%. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25-30% karena harga batubara yang melambung. Ini diperparah lagi dengan terkendalanya pasokan batubara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen. “Bayangkan saja, stok batubara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada jalannya produksi dan volume produksi semen terganggu.”

Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional, karena bila harga semen naik, dampaknya akan berpengaruh  ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industry dalam negeri serta proyek-proyek strategis nasional.

Sementara itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi.  Menurut Redma Gita, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) saat ini ada 2 pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan 6 pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang dan Purwakarta. 

Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batubara sudah terlampau tinggi. 

Redma menjelaskan, selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batubara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, namun juga bahan baku dari gasifikasi batu bara. 

Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni untuk cost energi dan harga bahan baku akibat harga batubara juga,” pungkas Redma. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Bagikan Artikel: