Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kritik Tapi Tujuannya Cuma Ingin Geser Menteri, Jangan Sampai Relawan Jokowi Seperti Makelar Politik

Kritik Tapi Tujuannya Cuma Ingin Geser Menteri, Jangan Sampai Relawan Jokowi Seperti Makelar Politik Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menegaskan, kritik yang disampaikan oleh sebagian relawan yang menyebut pendukung lama Presiden Jokowi, harus murni untuk mengawal kepentingan visi-misi Presiden.

Bukan malah sebaliknya, hanya untuk kepentingan menggeser Menteri demi kepentingan kelompok tertentu.

"Ini menurut saya, kritik yang disampaikan jangan sampai tidak murni. Kritik yang disampaikan agar tujuannya untuk meluruskan, agar on the track, visi misi presiden seperti janjinya dulu," kata Karyono ketika dihubungi wartawan, Kamis (11/11/2021).

Kritik yang disampaikan para relawan, kata Karyono sah saja, namun tetap perlu proporsional, berbasis data, tidak tendensius, sekaligus juga jika memang terbukti ada kebijakan yang dinilai merugikan. 

Dia menyadari, kritik yang disampaikan oleh para relawan ini sebetulnya menyasar para pembantu Presiden Jokowi yang, menurut versi relawan, tidak sejalan dengan visi misi Presiden.

Kata Karyono, memang terlihat kritik relawan Jokowi itu secara tersirat langsung ke pembantunya, yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan Presiden.  Kalau kritik itu ingin menyelamatkan Jokowi agar visi misi presiden tetap berjalan untuk kepentingan masyarakat, maka sah dan beralasan. 

Namun, apabila kritik yang disampaikan oleh para relawan hanya untuk menggeser menteri, kata Karyono, bisa disebut sebagai makelar.

"Tapi kalau dibalik kritik untuk menggeser menteri, jadi makelar itu namanya. Itu kritik ala makelar, kritik itu harus murni," ungkap Karyono.

Karyono pun mengimbau, kritik yang disampaikan oleh para relawan terhadap kebijakan pemerintah harus murni untuk kepentingan bangsa dan rakyat.

"Yang perlu diingat adalah kebijakan pemerintah harus mementingkan rakyat, jangan sampai kritik itu hanya bertujun untuk sengaja menyasar menteri, menggeser dan kemudian memasukan orang lain. Itu makaler jabatan. Jangan seperti itu, karena nanti gak objektif, ada motif dari kritik itu," ungkap dia.

Meskipun, kata dia, mendukung siapapun sah-sah saja asal yang didukung memiliki kapabilitas, integritas dan kopeten dalam hal ini mengurus negara. Tapi demikian, bila dukungan itu  ada transaksi dari dukungan itu, maka hal itu merugikan negara.

Jangan sampai, kata Karyono, justru negara  Indonesia malah dikuasi oleh kelompok kapitalis, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakatnya.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, tuduhan atas sejumlah menteri terlibat dalam bisnis PCR, juga hanya membuat kegaduhan. 

"Kalau  ada kekurangan dalam mengambil kebijakan yah dimaafkan, kalau memang harga itu Rp275.000 karena disubsidi oleh pemerintah atau bantuan pengusaha maka harus kita berterima kasih," kata Emrus ketika dihubungi wartawan, Rabu malam (11/11). 

Ia menegaskan, naik turunnya harga PCR itu tidak serta merta permainan harga oleh pihak-pihak tertentu.  Karena hal tersebut bisa juga pengaruh dengan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.

Juga ketersediaan stok, permintaan pasokan  Bahkan, bila ada penurunan harga yang begitu jauh bisa juga adalah subsidi dari pemerintah agar masyarakat bisa menjangkaunya. Karena itu, tudingan ada main harga, cenderung tendensius. 

"Bila marginnya dikatakan tidak masuk akal, bisa jadi Pemerintah mensubsidi PCR ini hingga harga terjun bebas," kata Emrus.

Karena berdasarkan rincian harga PCR yang diumumkan oleh Kemenkes dan BPKP itu pertama Rp 900.000 di tahun 2020, kedua, pada tanggal 16 Agustus 2021 ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp 495.000 untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp 525.000 untuk diluar pulau Jawa dan Bali.

Terakhir pada tanggal 27 Oktober ditetapkan Rp 275.000 untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp 300.000 untuk di luar pulau Jawa dan Bali. Bila berkaca di tahun 2020 dengan harganya Rp 900.000 dan itu bahan impor, sehingga bisa mahal.

"Tinggal dibuka saja. Kalau itu sudah dibuka transparan maka baru bisa disimpulkan, apakah itu bisnis atau bukan bisnis," katanya.

Karena penetapan harga juga sudah jelas, maka seharusnya tidak asal tuding. Tinggal, Kemenkes dan BPKP lebih terbuka lagi soal harga PCR ini, agar tidak ada isu liar yang bisa mengganggu kerja presiden dan para menterinya dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi bangsa.

"Saran saya baiknya dua lembaga (Kemenkes dan BPKP) terbuka yah, soal pembelian bahan baku hingga harga bisa turun beberapa kali itu. Kita kan tidak tau, jangan-jangan Pemerintah yang subsidi maka harus kita syukuri, dan tidak ada bisnis disitu karena disubsidi tersebut," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: