Berharap Saling Bantu, Pengusaha Minta Dilibatkan Dalam Penentuan Harga Tes PCR
Pemerintah terus berusaha agar harga layanan kesehatan terkait pandemi COVID19 bisa seefisien mungkin dan terjangkau bagi masyarakat. Salah satunya dengan menerapkan batasan harga bagi sejumlah layanan, seperti tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR). Meski kebijakan tersebut dinilai positif, namun keterlibatan pelaku usaha dalam proses penetapan harga tersebut dinilai penting guna menjaga keberlangsungan layanan kesehatan ke depan. “Kami berharap pemerintah juga membantu kami, agar kami juga bisa membantu pemerintah dalam menangani pandemi COVID19 ini, sehingga kita semua bisa bersama-sama membantu masyarakat,” ujar Wakil Komite Tetap Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, dr. Randy H Teguh, dalam diskusi virtual dengan tema ‘Mafia vs Pelaku Usaha Profesional di Tengah Polemik Kebijakan PCR’, Jumat (12/11).
Keterlibatan pelaku usaha ini, menurut Randy, terkait kebijakan pemerintah yang telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) tes PCR sebesar Rp275.000 untuk wilayah Jawa dan Bali serta Rp300.000 untuk area di luar Pulau Jawa dan Bali. Dalam pandangan Randy dan pelaku usaha kesehatan lainnya, patokan HET tersebut sangat memberatkan bagi para pelaku usaha. “Jadi untuk rumah sakit, klinik dan lab ini istilahnya kepepet. Sangat dilematis. Jika mereka tidak melakukan layanan maka (bisnisnya) akan ditutup, tapi kalau mereka lakukan (layanan) ya buntung,” keluh pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia ini.
Keluhan Randy dibenarkan oleh perwakilan pengusaha laboratorium, dr. Dyah Anggraeni, yang juga turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi kali ini. Menurut Dyah, dengan berdasarkan simulasi yang menggunakan asumsi harga reagen open system Rp 96.000, maka harga PCR harusnya lebih dari Rp300.000. Karenanya, demi tetap bisa melakukan layanan sesuai dengan harga yang dipatok pemerintah, tak sedikit rumah sakit, klink dan lab yang terpaksa menerapkan kebijakan subsidi silang. “Jadi keuntungan kita dari layanan yang lain, kita pakai untuk subsidi silang ke layanan PCR ini. Terpaksa harus seperti itu.. Lalu juga efisiensi kami lakukan di mana-mana. Untuk SDM yang paling bisa dikurangi itu swaber, tapi yang ada di lab itu tetap,” tutur Dyah, yang merupakan Chief Executive Officer (CEO) Cito Clinical Laboratory.
Tak hanya RAndy dan Dyah, turut hadir juga sebagai pembicara adalah Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Kesehatan, Charles Honoris dan juga Wakil Ketua DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena. Dalam paparannya, Melkiades menyebut bahwa pemerintah perlu mensubsidi biaya tes PCR, khususnya di daerah-daerah yang layanan tes PCRnya masih terbatas namun potensi penularannya tinggi. Biaya subsidi tersebut bisa diambil dari anggaran Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). “Kalau di bidang penerbangan saja, pemerintah masih mensubsidi sejumlah maskapai agar penerbangan bisa masuk ke suatu daerah demi keadilan akses, seharusnya tes PCR juga pakai skema seperti itu. Artinya pemerintah perlu hadir untuk memastikan keadilan bagi warga di seluruh pelosok Tanah Air untuk menjangkau harga tes PCR, sekaligus membantu keberlangsungan usaha di bidang layanan kesehatan. Jangan sampai orang takut berusaha di bidang kesehatan,” tegas Melkiades.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma
Tag Terkait: